“Dari Pemilu yang kotor hanya akan lahir calon koruptor,” jelasnya.
Lebih jauh, ia mendorong agar dalam tubuh negara demokratis, Pemilu berfungsi sebagai ginjal. Mencuci darah kotor.
“Pemimpin yang tidak amanah, tidak kapabel, adalah darah kotor yang disingkirkan melalui saringan pemilu lima tahun sekali,” cetusnya.
Hanya saja, ia melihat bahwa ginjal Pemilu di Indonesia telah dicap gagal. Mereka yang tersaring dan kalah, malah politisi yang bersih.
“Yang mengandalkan kapasitas dan integritas tak terbeli, bukan isi tas. Gagal ginjal pemilu menghadirkan pemenang Pilpres dari putusan Paman Usman untuk Gibran,” imbuhnya.
Bukan hanya itu, Denny menuturkan bahwa gagal ginjal Pemilu juga menghadirkan anggota legislatif nasional dan lokal yang merampok uang rakyat, Gubernur, Bupati, Walikota, masing-masing menghadirkan kebijakan koruptif.
“Semua bermuara dari uang suap untuk memenangkan pemilu. Menjadi kandidat bayar mahar. Menjadi pemenang membayar penyelenggara Pemilu, oknum aparat, pengadilan, mahkamah, hingga membeli suara rakyat,” bebernya.
Kata Denny, jika merujuk pada aturan agama baik yang memberi suap ataupun yang menerima suap, masuk neraka berdasarkan perkataan Rasulullah, Muhammad SAW.
“Jadi suap adalah praktik yang menyebabkan gagal ginjal pemilu kita, dan dari waktu ke waktu semakin kita toleransi sebagai kenormalan. Kata Burhanuddin Muhtadi, politik uang adalah new normal dalam pemilu kita,” tukasnya.
Bukan hanya itu, Denny bilang bahwa tidak akan ada kabar baik dari pemilu yang kotor. Pun tidak ada keadilan dari gagal ginjal pemilu.
