Surabaya (beritajatim.com) – Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Surabaya memperketat pengawasan administrasi kependudukan dengan menyasar praktik tidak lazim dalam pencatuman alamat KTP.
Salah satu temuan mencolok adalah penggunaan rumah ibadah sebagai alamat tempat tinggal dalam dokumen identitas. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya penertiban administrasi yang lebih akurat dan sesuai dengan fakta di lapangan.
Kepala Disdukcapil Surabaya, Eddy Christijanto, mengungkapkan bahwa pihaknya akan bertindak tegas terhadap warga yang mencantumkan alamat fiktif atau yang tidak sesuai dengan domisili sebenarnya.
“Kita nonaktifkan supaya mereka pindah ke tempat tinggal yang sesuai domisilinya,” kata Eddy, Jumat (16/5/2025).
Penegasan ini disampaikan Eddy menanggapi semakin banyaknya kasus warga yang tidak bertanggung jawab mencantumkan alamat yang tidak semestinya pada KTP mereka.
Disdukcapil Surabaya telah melakukan filterisasi ketat terhadap pengajuan alamat tempat tinggal yang tidak sesuai peruntukannya dan memastikan bahwa rumah ibadah tidak dapat dijadikan alamat KTP.
“Insya Allah kita sudah filter,” ujarnya.
Eddy menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung secara jelas menyebutkan bahwa bangunan yang dapat dijadikan tempat tinggal meliputi rumah, rumah deret, rumah susun, atau apartemen.
Sementara itu, tempat-tempat publik seperti kantor kecamatan, kantor kelurahan, pusat perbelanjaan, rumah sakit, fasilitas kesehatan, hingga tempat ibadah memiliki fungsi spesifik yang tidak dapat dialihfungsikan sebagai tempat tinggal.
“Fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit itu untuk kesehatan. Terus tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura itu ya untuk ibadah. Terus, apa namanya, sekolah itu ya untuk anak-anak belajar,” tegasnya.
Disdukcapil Surabaya memastikan telah sepenuhnya mengacu pada PP Nomor 16 Tahun 2021 dalam menjalankan aturan ini. Proses verifikasi alamat KTP juga dilakukan melalui survei lapangan, terutama bagi warga luar Surabaya yang mengajukan pindah masuk.
Dalam proses ini, petugas Disdukcapil akan melakukan pengecekan langsung ke lokasi untuk memastikan kesesuaian peruntukan bangunan sebagai tempat tinggal.
“Survei ini, yang pertama kita cek terkait dengan keperuntukan yang akan dituju sebagai alamat KK. Kalau misalnya memang untuk selain tempat tinggal, ya otomatis tidak kita proses, kita tolak,” jelas Eddy.
Selain itu, Disdukcapil juga memastikan keberadaan pemohon di alamat yang dituju dengan meminta keterangan dari tetangga sekitar. Keterangan dari ketua RT dan RW setempat juga menjadi bagian penting dalam proses verifikasi, terutama dalam pengajuan pindah masuk.
“Kita cari keterangannya berdasarkan tetangga kanan-kiri. Artinya, Surabaya sudah menerapkan de jure de facto (alamat sesuai KTP), orangnya juga harus ada tinggal di situ,” imbuhnya.
Eddy menambahkan bahwasanya survei lapangan ini juga melibatkan petugas kelurahan setempat. Jika informasi terkait keberadaan warganya tidak jelas, petugas akan mengkonfirmasi langsung kepada ketua RT dan RW setempat.
“Karena untuk permohonan pindah masuk itu juga harus mengetahui ketua RT dan ketua RW. Maka, di berita acaranya itu juga harus ada tanda tangan ketua RT dan RW,” sambung Eddy.
Eddy kembali menegaskan konsekuensi bagi warga yang terbukti menyalahgunakan alamat rumah ibadah sebagai alamat KTP.
“Ya, kalau misalnya ditemukan, akan kita nonaktifkan Supaya mereka pindah ke tempat tinggal yang sesuai domisilinya,” katanya.
Mantan Kasatpol PP Surabaya ini menambahkan bahwa Disdukcapil berkomitmen untuk terus melakukan pengawasan terhadap pengajuan alamat KTP di Kota Surabaya. Langkah ini dianggap vital untuk menjaga ketertiban administrasi kependudukan dan memastikan data yang valid sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Langkah tersebut penting untuk menjaga ketertiban administrasi dan memastikan data kependudukan sesuai dengan aturan, ” pungkasnya. [asg/ian]
