Tak Bersuara Tapi Bermakna, Cerita Para Penjaga Harapan dari Jombang

Tak Bersuara Tapi Bermakna, Cerita Para Penjaga Harapan dari Jombang

Jombang (beritajatim.com) – Di sebuah aula di jantung Kota Santri, tepatnya di Hotel Yusro, suasana Selasa pagi (17/6/2025) itu berbeda. Bukan pertemuan pejabat, bukan pula rapat elite politik.

Tapi sebanyak 222 orang duduk bersisian, menyimak, berbagi senyum, dan sesekali tertunduk haru. Mereka datang bukan untuk mencari nama. Mereka hadir untuk sebuah penguatan: semangat, kapasitas, dan kemanusiaan.

Mereka adalah SDM pilar sosial Kabupaten Jombang. Mungkin tak banyak yang mengenal nama mereka satu per satu. Tapi jika pernah melihat sembako tiba di rumah warga miskin, relawan mengevakuasi warga di tengah banjir, atau pendamping sosial mendampingi orang tua tunggal yang kesulitan, maka merekalah orang-orang di balik itu semua.

Ada 156 Pendamping PKH, 42 anggota Tagana, 21 Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), dan 3 Pendamping Rehabilitasi Sosial yang duduk berdampingan hari itu. Dalam diam, mereka menyimpan ratusan kisah pengabdian: berjalan menyusuri desa terpencil, menggendong bantuan melewati lumpur, hingga menjadi tempat curhat satu-satunya bagi warga yang kehilangan arah hidup.

Bupati Jombang, H. Warsubi, hadir tidak sekadar membuka acara. Ia datang dengan membawa empati. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pembangunan bukan hanya tentang jalan tol, gedung tinggi, atau grafik ekonomi. Pembangunan sejati, menurutnya, adalah ketika negara benar-benar hadir untuk mereka yang paling membutuhkan.

“Pembangunan tidak boleh meninggalkan siapa pun,” ujar pria yang akrab disapa Abah Warsubi itu. “Dan panjenengan semua adalah ujung tombak kehadiran negara di tengah rakyat.”

Ruangan mendadak hening ketika ia memanggil dua nama: Sukardi dari Dusun Kayangan dan Annisa Putri Frameswari dari Sambong Dukuh. Di hadapan peserta, mereka menerima kursi roda dari tangan bupati. Bantuan itu mungkin kecil nilainya, tapi sangat besar artinya. Ada pula Umar Ismail dan Supiyani, yang menerima bantuan tunai untuk kebutuhan dasar hidup mereka.

Tepuk tangan menyambut momen-momen itu. Tapi yang lebih terasa adalah getar rasa yang diam-diam menyusup ke dada. Bagi para pendamping, Tagana, dan relawan sosial, ini bukan sekadar acara. Ini pengakuan atas kerja yang selama ini nyaris tak terdengar.

Bupati Jombang Warsubi bersama pilar-pilar sosial

Abah Warsubi lalu melanjutkan, “Tidak semua orang mau menginjak tanah becek, menenangkan warga panik, atau membantu para lansia. Tapi panjenengan semua melakukannya. Dan itu bukan pekerjaan biasa. Itu kemanusiaan.”

Ucapan itu disambut gemuruh tepuk tangan. Sebagian peserta mengusap mata. Mereka mungkin lelah. Tapi hari itu, mereka merasa tak sendiri. Mereka merasa dihargai.

Acara itu bukan hanya pembekalan teknis. Ia menjelma menjadi ruang refleksi. Tentang bagaimana menjadi manusia yang hadir bukan untuk memerintah, tapi untuk menemani. Tentang pekerjaan yang bukan hanya soal tugas, tapi tentang jiwa.

Dan saat semua hendak selesai, Abah Warsubi menutup dengan kalimat yang akan mereka bawa pulang: “Saya percaya, selama masih ada orang-orang seperti panjenengan, maka harapan akan selalu hidup di Jombang ini.”

Hari itu, 222 pejuang sosial kembali ke wilayah tugas masing-masing. Tanpa panggung, tanpa kamera. Tapi dengan semangat baru, dengan kepala tegak, dan hati yang penuh keyakinan bahwa yang mereka lakukan, sekecil apa pun, adalah bagian dari menjaga denyut kehidupan. Di tengah statistik kemiskinan, di balik angka-angka, merekalah denyut harapan itu sendiri. [suf]