Bojonegoro (beritajatim.com) – DPRD Bojonegoro menyoroti realisasi serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2024 oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang per 30 November hanya mencapai 53,9 persen. Kondisi ini dinilai tak ideal karena berdampak pada tingginya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa).
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bojonegoro, Luluk Alifah, mengungkapkan bahwa serapan APBD baru mencapai Rp4,4 triliun dari total Rp8,2 triliun. Salah satu kendala yang dihadapi adalah lambatnya Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD), sehingga proses pengelolaan anggaran mengalami hambatan.
“Kami sudah melakukan pencairan secara manual untuk mempercepat serapan, juga rutin mengadakan evaluasi bulanan terkait proyek strategis daerah,” jelas Luluk.
Namun, Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro, Lasuri, menyebut rendahnya serapan anggaran ini aneh.
“Serapan ideal seharusnya di atas 90 persen pada akhir tahun. Selalu saja ada Silpa tinggi setiap tahun, ini menunjukkan perencanaan yang kurang matang,” ujarnya.
Sementara Komisi A DPRD Bojonegoro Sudiyono juga menyoroti lemahnya perencanaan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Politisi Partai Gerindra itu menyoroti perihal serapan belanja dari pihak eksekutif.
Ia menguraikan postur APBD dari beberapa item belanja terlebih dahulu. Yakni item kesehatan 10 persen, pendidikan 20 persen, belanja pegawai maksimal 30 persen, dan belanja pembangunan sebesar 40 persen.
“Dari situ tinggal kita evaluasi OPD mana yang belum bisa menyelesaikan target karena APBD adalah perda, jadi supaya penegak perda harus mengingatkan dan menilai kinerja dari OPD, ojo (jangan) diam-diam ae (saja),” tuturnya.
Ketua Komisi C DPRD, Ahmad Supriyanto, menambahkan bahwa rendahnya serapan menunjukkan ketidakseriusan Pemkab dalam mengelola uang rakyat. “Ini rapor merah untuk Pemkab Bojonegoro,” tegasnya. [lus/aje]
