PDIP di Persimpangan Jalan: Oposisi atau Merapat ke Pemerintahan Prabowo?

PDIP di Persimpangan Jalan: Oposisi atau Merapat ke Pemerintahan Prabowo?

Malang (beritajatim.com) – Peta politik nasional kian memanas seiring dengan dinamika posisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Di tengah tarik-menarik kekuasaan dengan pemerintahan Prabowo Subianto dan konflik internal yang semakin terang, PDIP dihadapkan pada keputusan krusial: menjadi oposisi atau merapat ke pemerintahan.

Menurut Novy Setia Yunas, S.IP., M.IP., pakar politik dari Universitas Brawijaya Malang, bergabungnya PDIP ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo akan membawa stabilitas politik dan memudahkan eksekusi kebijakan prioritas. Namun, hambatan terbesar justru datang dari dinamika internal PDIP.

“Prabowo memiliki keinginan kuat untuk menggandeng PDIP, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan Megawati Soekarnoputri. Saat ini, 98 persen arah politik PDIP mengarah pada oposisi,” ujarnya pada Selasa (17/12/2024).

PDIP dikenal sebagai partai yang kaya akan faksi internal. Novy mengungkap bahwa kubu Puan Maharani cenderung akomodatif terhadap ide bergabung dengan pemerintahan Prabowo. Namun, hal ini mendapat penolakan keras dari faksi Prananda Prabowo dan Hasto Kristiyanto.

Kondisi ini semakin diperkeruh dengan sejumlah langkah simbolis yang mempertegas sikap PDIP sebagai oposisi, seperti pemecatan Effendi Simbolon, yang dikenal dekat dengan Presiden Jokowi dan pencabutan status keanggotaan keluarga Jokowi dari PDIP.

“Pemecatan ini adalah pesan politik yang kuat bahwa PDIP ingin mengambil jarak dari keluarga Jokowi yang kini dianggap mewakili pemerintahan Prabowo,” kata Novy.

Novy menilai bahwa langkah PDIP memilih posisi oposisi bukan tanpa konsekuensi. Selain menghadapi kekuatan koalisi pemerintahan yang dominan, konflik internal menjadi tantangan utama bagi PDIP.

“Hasil Pilkada yang mengecewakan di sejumlah wilayah menunjukkan melemahnya konsolidasi internal partai. Ini menjadi alarm bagi PDIP untuk segera melakukan pembenahan,” ungkap Novy.

Isu lain yang tak kalah penting adalah regenerasi kepemimpinan. Jika Megawati Soekarnoputri terus memegang kendali partai, proses regenerasi bisa terhambat. “Regenerasi bukan sekadar pergantian pemimpin, melainkan menciptakan strategi baru untuk bersaing di panggung politik nasional,” tegasnya.

Meski penuh tantangan, Novy menilai posisi PDIP di luar pemerintahan bisa menjadi peluang besar jika dimanfaatkan dengan baik. “Demokrasi memerlukan oposisi kuat untuk menjaga mekanisme check and balances. PDIP bisa memperbaiki kualitas pemerintahan dengan kritik yang konstruktif,” tambahnya.

Namun, untuk menjadi oposisi yang efektif, PDIP perlu melakukan transparansi dalam rekrutmen politik, konsistensi dalam pendidikan kader, komunikasi politik yang efektif dengan publik. Tanpa langkah ini, PDIP berisiko menjadi oposisi yang lemah dan kehilangan relevansi.

Kongres PDIP tahun 2025 diprediksi akan menjadi momen krusial. Menurut Novy, kongres tersebut akan menjadi ajang adu kekuatan faksi internal partai. “Jika tidak ada regenerasi, konflik internal bisa berkepanjangan dan melemahkan posisi PDIP di panggung politik,” ujarnya.

Keputusan PDIP untuk bertahan sebagai oposisi atau merapat ke pemerintahan Prabowo tidak hanya berdampak pada masa depan partai, tetapi juga pada kualitas demokrasi di Indonesia.

“Masyarakat menanti apakah PDIP siap menjadi oposisi yang kuat dan tangguh, atau justru melemah di tengah dominasi kekuasaan Prabowo. Jawabannya ada di tangan Megawati dan partai,” tutup Novy. [dan/beq]