Bagi Donald Trump, 100 hari pertama masa jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat menawarkan peluang untuk menggariskan haluan domestik dan internasional. Dia diyakini terutama ingin memuaskan pemilih konservatif di dalam negeri, sembari memproyeksikan kekuatan AS di luar negeri.
Kuasa lewat perintah eksekutif
Instrumen yang menawarkan aksi cepat adalah perintah eksekutif yang berlaku tanpa perlu persetujuan Kongres. Di Amerika Serikat, perintah eksekutif atau peraturan presiden lazim dikeluarkan dalam isu keamanan nasional, kebijakan luar negeri atau sekedar regulasi.
Setumpuk dokumen perpres diyakini sudah akan siap untuk ditandatangani sesaat setelah pelantikan Trump pada 20 Januari,
Dalam wawancara TV di “Meet the Press” pada 8 Desember lalu, Trump membenarkan bahwa dirinya akan menandatangani “banyak” perintah eksekutif pada hari pertama. Perpres tersebut menyangkut bidang ekonomi, energi, dan keimigrasian di perbatasan dengan Meksiko.
Perintah eksekutif bukan konstitusi, melainkan berupa instruksi kepada jajaran pemerintah, kata Dan Mallinson, seorang profesor kebijakan publik dan administrasi di Penn State Harrisburg di Pennsylvania.
Namun begitu, kekuasaan Trump tetap “bersifat luas, termasuk janjinya untuk menutup perbatasan,” katanya kepada DW, “namun perintah lainnya hanya mengawali proses pembuatan peraturan federal yang lambat, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.”
Deportasi massal
Sejak awal, Trump telah terpaku pada perbatasan Meksiko dan arus migran dari selatan. Pada masa jabatan pertamanya, dia bersikeras membangun tembok perbatasan menuju Meksiko, dan memenjara migran di dalam kamp-kamp penampungan sarat pelanggaran HAM.
Pada pemilu terakhir, menghentikan migrasi ilegal dengan mengamankan perbatasan negara menjadi salah satu isu utama yang membuat Trump terpilih kembali. Dia diyakini akan kembali menerapkan kebijakan yang mengharuskan pencari suaka untuk menunggu di Meksiko sementara klaimnya diproses.
Bagi mereka yang sudah berada di Amerika Serikat secara ilegal, Trump merencanakan deportasi massal terbesar dalam sejarah, dengan fokus utama pada kaum kriminal, sebelum beralih ke imigran gelap lainnya.
Meskipun ada perintah eksekutif untuk mempercepat deportasi, pelaksanaannya memerlukan waktu dan kerja sama dari lembaga lokal dan negara bagian. Belum lagi potensi gelombang gugatan hukum di setiap jenjang.
Selain memerangi migrasi ilegal, Trump kemungkinan akan memperlambat migrasi legal, termasuk misalnya dengan mempersulit dan mempermahal biaya untuk mendapatkan izin kerja, izin tinggal tetap, dan visa. Hal ini dapat berdampak pada pekerja terampil dan calon mahasiswa asing.
Trump juga menegaskan di acara “Meet the Press” bahwa mengakhiri kewarganegaraan berdasarkan kelahiran adalah prioritas Hari ke-1, jika memungkinkan, melalui tindakan eksekutif. “Kami akan mengakhirinya karena ini konyol,” katanya.
Gagasannya itu menyaratkan perubahan mendasar pada konstitusi. Karena prinsip, bahwa siapa pun yang lahir di tanah AS adalah warga negara Amerika, tertanam dalam Amandemen ke14 UUD.
Kenaikan tarif pada barang impor
Perdagangan adalah area lain yang mendapat banyak perhatian dari Trump. Baru-baru ini, dia menyarankan kenaikan tarif menyeluruh sebesar 10% untuk semua jenis barang impor. Adapun Meksiko, Kanada, dan China, mitra dagang terbesar AS, akan dikenakan bea masuk yang lebih tinggi.
“Belum jelas sejauh apa kenaikannya atau apakah hanya gertakan untuk mendorong negara lain menegosiasikan ulang perjanjian perdagangan,” kata Mallinson. Namun, berdasarkan rekam jejaknya, dia meyakini Trump akan memberlakukan setidaknya beberapa tarif baru.
Meski presiden berwenang menaikkan tarif pada kategori impor tertentu, upaya untuk menaikkan pajak secara umum akan lebih rumit. Kebijakan itu berpotensi menimbulkan kekacauan politik, dan menjaring gelombang gugatan di pengadilan.
Selain itu, tarif dapat menambah masalah di dalam negeri. “Kemarahan atas inflasi membantu Trump memenangkan kursi kepresidenan, tetapi dia dapat kehilangan dukungan publik dengan cepat jika kebijakan ekonominya menaikkan harga atau menghambat perekonomian,” kata Mallinson.
Tinggalkan Perjanjian Iklim Paris, untuk kedua kali
Dekarbonisasi dan transformasi hijau belakangan menjadi medan ideologi di AS, terutama selama masa kampanye pilpres.
Selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden, Trump menarik AS dari Perjanjian Paris, yang dibuat demi mengurangi emisi karbon guna melawan perubahan iklim. Joe Biden membatalkan keputusan itu dan bergabung kembali pada hari pertamanya menjabat.
Di masa jabatan keduanya, Trump berjanji untuk menambah penambangan minyak mentah, termasuk dengan cara fracking atau teknik stimulasi hidrolik yang berongkos lingkungan tinggi. Tidak heran, jika pemerintahannya akan menarik diri dari Perjanjian Iklim demi membuka jalan bagi penambangan baru.
Trump tidak menganggap serius produksi energi terbarukan atau kendaraan listrik. Sikap skeptis ini dapat menyebabkan dikeluarkannya perintah eksekutif lain yang mencabut perlindungan lingkungan dan memperlambat laju proyek energi terbarukan.
Trump harus bertindak cepat dalam menetapkan perubahan, selama masih menguasai mayoritas di kedua kamar legislatif. Pasalnya, pemilihan sela dalam dua tahun dapat mengakhiri mayoritas Partai Republik di Senat atau Kongres.
“Presiden menjabat dengan mandat dan modal politik yang cepat berkurang,” pungkas Mallinson. “Dia tidak dapat mencalonkan diri lagi pada tahun 2028, jadi apa pun yang ingin dicapainya harus terjadi dalam satu periode.”
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris