Calon Bupati Teluk Bintuni Meninggal Dunia di Tengah Proses Gugatan MK
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Calon bupati Teluk Bintuni nomor urut 2,
Daniel Asmorom
meninggal dunia di tengah proses gugatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 ke
Mahkamah Konstitusi
(MK).
Kuasa hukum Daniel dan calon wakil bupati Alimudin Baedu, Rahmat Taufit, menjelaskan situasi ini kepada Mahkamah dalam sidang perselisihan hasil Pilkada dengan nomor perkara permohonan Perkara Nomor 101/PHPU.BUP-XXIII/2025.
“Kami berduka Yang Mulia, bahwa salah satu
principal
kami yaitu calon bupatinya meninggal dunia tanggal 28 Desember 2024,” kata Taufit di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2025).
Mendengar ini, hakim konstitusi yang memimpin sidang, Arief Hidayat, pun menyampaikan duka cita.
Ia kemudian memastikan bahwa Daniel merupakan pemohon Perkara Nomor 101/PHPU.BUP-XXIII/2025.
“Pemohonnya berarti?” tanya Arief.
“Pemohon Yang Mulia, calon bupatinya atas nama Daniel Asmorom,” ujar Taufit.
Arief kemudian memastikan apa materi yang dipersoalkan pasangan calon Bupati Teluk Bintuni nomor urut 2.
Taufit kemudian menyebut, pihaknya mempersoalkan putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 77 yang ditetapkan 4 Desember 2024.
Ia menjelaskan, jumlah suara sah pasangan nomor urut 1, Yohanis Anisto Mainubuy-Joko Lingara, yang ditetapkan memenangkan Pilkada hanya berselisih 2 persen dari suara pemohon.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pilkada, mengatur tentang ambang batas suara yang harus diperoleh peserta berdasarkan jumlah penduduk di masing-masing daerah.
Pasal itu menjelaskan, dalam pemilihan bupati dan wakil bupati, gugatan bisa diajukan jika perbedaan perolehan suara terbanyak dengan pemohon paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah hasil perhitungan suara.
Persentase 2 persen ini berlaku di daerah dengan jumlah penduduk kurang dari 250.000 jiwa.
Adapun Teluk Bintuni dihuni 82.000 jiwa.
KPU Daerah setempat menetapkan total hasil perhitungan sebanyak 40.666 suara sah.
“Perbedaan suara yang diperkenankan oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak adalah 2 persen dikali 40.666 suara. Jadi hasilnya 814 suara,” kata Taufit.
Di luar itu, Taufit menyebut pihaknya menemukan sejumlah pelanggaran, seperti undangan pemilih yang tidak dibagikan hingga saksi diusir ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
“Terdapat fakta hukum bahwa ada pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali,” ujar Taufit.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.