Jakarta, CNBC Indonesia – China dilaporkan sedang mempertimbangkan potensi untuk menjual aplikasi TikTok ke miliarder Elon Musk agar bisa terus beroperasi di Amerika Serikat (AS).
Pasalnya, AS menetapkan aturan yang memaksa TikTok lepas dari induk ByteDance asal China atau diblokir permanen secara nasional.
Laporan soal kemungkinan Elon Musk mencaplok Twitter dilaporkan pertama kali oleh Bloomberg. Media tersebut menyebut pemerintah China sedang mengevaluasi opsi potensial yang melibatkan Musk mengakuisisi operasi TikTok di AS.
Namun, hal ini langsung dibantah Tiktok. Juru bicara TikTok mengatakan kepada Variety bawah “kami tak bisa berkomentar soal cerita fiksi,” kata dia, dikutip dari Variety, Selasa (14/1/2025).
Musk belum buka suara terkait laporan Bloomberg yang menguti sumber anonim. Namun, Musk sebelumnya memiliki rekam jejak mencaplok platform media sosial yang tengah dilanda masalah.
Pada 2022, CEO Tesla dan SpaceX sekaligus orang terkaya di dunia tersebut membeli Twitter senilai US$44 juta. Ia lalu mengubah Twitter menjadi X.
Menurut laporan Bloomberg, ada satu skenario yang tengah didiskusikan pemerintah China. Tak lain adalah X mengambil alih TikTok di AS dan sama-sama [dengan China] menjalankan bisnis di negara yang sebentar lagi dipimpin oleh Donald Trump.
Bloomberg menegaskan bahwa hingga kini belum jelas apakah Musk, TikTok, dan ByteDance sudah berbicara terkait syarat dan ketentuan kesepakatan tersebut.
Kebijakan AS yang mengancam TikTok akan efektif mulai 19 Januari mendatang atau sehari sebelum pelantikan Trump. Trump sendiri menegaskan posisinya yang ingin pemblokiran TikTok ditangguhkan.
TikTok mengatakan hukum yang mengancam eksistensinya di AS melanggar ketentuan Amandemen Pertama yang mengatur hak kebebasan berpendapat 170 juta pengguna di AS.
Namun, regulator agaknya masih bersikukuh untuk melanjutkan aturan yang telah diteken Presiden Joe Biden tersebut. AS berdalih TikTok membahayakan keamanan nasional jika masih di bawah ByteDance. Dikhawatirkan, pemerintah China bisa mengakses data pengguna AS karena aturan negara tersebut yang meminta perusahaan menyerahkan data ke pemerintah.
(fab/fab)