Jakarta –
Setiap negara memiliki mata uang masing-masing. Namun untuk transaksi perdagangan internasional, dibutuhkan mata uang yang bisa dipakai kedua negara. Tentunya, mata uang ini memiliki nilai stabil dan disepakati kedua negara.
Padahal pada zaman dahulu, emas selalu menjadi patokan mata uang karena dianggap memiliki nilai tukar yang stabil. Baru sekitar seabad lalu, dolar AS mulai mengambil peran ini sebagai standar nilai tukar mata uang internasional.
Standar Emas Mulai Ditinggalkan Sejak PD I
Dikutip dari Investopedia, mata uang dolar AS atau US dollar (USD) pertama kali dicetak pada 1914. Momen ini tepat setahun setelah berdirinya Federal Reserve sebagai bank sentral AS. Pada tahun yang sama terjadi Perang Dunia (PD) I.
Dunia sebelumnya masih menggunakan standar emas untuk menstabilkan nilai tukar mata uang. Namun ketika Perang Dunia I terjadi, banyak negara mulai menggunakan uang kertas dan meninggalkan standar emas untuk membayar pengeluaran militer mereka.
Perubahan tersebut mengakibatkan devaluasi terhadap mata uang mereka. Bahkan Inggris yang masih menggunakan standar emas untuk mempertahankan posisi poundsterling, tetap harus meminjam uang untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berperang.
Mulai saat itulah Amerika Serikat banyak memberi pinjaman uang kepada negara-negara yang bersedia membeli obligasi AS dengan mata uang dolar. Inggris lalu meninggalkan standar emas pada 1931. Dolar AS pun menggantikan poundsterling sebagai mata uang cadangan utama dunia.
Amerika Menguasai Sebagian Besar Emas Dunia
Dolar semakin kuat setelah AS menjadi pemasok persediaan utama senjata dan barang-barang lainnya dari sekutu sejak sebelum Perang Dunia II. Banyak negara yang membayar persenjataan itu dengan emas.
Karena hal tersebut, AS kemudian menguasai sebagian besar emas dunia. Standar emas pun semakin sulit kembali menjadi patokan mata uang dunia karena sebagian besar negara sudah menghabiskan cadangan logam mulia mereka.
Perjanjian Bretton Wood
USD ditetapkan sebagai patokan mata uang dunia dalam Perjanjian Bretton Wood di New Hampshire pada 1944. Saat itu ada 44 negara sekutu yang bertemu di Bretton Wood, untuk membahas sistem pengelolaan devisa yang tidak merugikan semua pihak.
Dalam pertemuan itu diputuskan, mata uang dunia tidak lagi dikaitkan dengan emas tapi dengan dolar AS. Dalam tiga dekade setelah pertama kali dicetak, dolar AS kemudian mampu menjadi mata uang dunia.
“Bretton Woods muncul setelah era perang dunia kedua, ketika beberapa negara melakukan transaksi perdagangan dan menghasilkan kekacauan pembayaran. Mereka bingung karena mata uang lokal tidak diterima, tapi kalau dengan emas harganya fluktuatif,” kata ekonom Universitas Airlangga (Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo SE, MSi, PhD, dalam situs resmi universitas tersebut.
AS juga berani menawarkan diri menjaminkan dolar sebagai mata uang pembayangan dalam perdagangan antar negara. Bahkan AS berkomitmen akan menjaminkan 1/35 oz emas dalam setiap cetakan satu dolar. Jumlah 1/35 oz emas kira-kira setara 0,81 gram emas dengan konversi 1 oz emas sama dengan 31,1 gram.
“Dengan adanya jaminan Amerika seperti itu, akhirnya menimbulkan kepercayaan dunia internasional kepada USD. Selanjutnya, setiap Amerika mencetak mata uang harus ada back up emas pada bank sentral Amerika,” ucap guru besar bidang Ilmu Ekonomi Internasional itu.
Sistem Runtuh tapi Belum Tergantikan
Pada 1970-an, sistem mata uang tersebut runtuh karena AS tidak mampu lagi menjamin mata uangnya. Ekonomi AS mengalami stagflasi dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Meski demikian, negara-negara masih mempercayai dolar AS sehingga tetap menjadi patokan.
“Walau sistem itu sudah runtuh, dunia masih percaya dengan USD daripada dengan mata uang yang lain. Sehingga sekarang berlaku sistem perdagangan mata uang dengan flexible exchange rate,” ujarnya.
Dengan kepercayaan tersebut, hingga kini AS masih menempati posisi teratas sebagai cadangan devisa dunia. Menurut situs International Monetary Fund (IMF) pada 2022, bank sentral menyimpan sekitar 59% dari semua cadangan bank asing dalam bentuk dolar AS.
Hingga kuadran pertama 2024, USD juga masih menempati posisi teratas sebagai cadangan devisa dunia yaitu 58,22% atau USD 6.675 miliar. Indonesia sendiri saat ini mengurangi ketergantungan pada USD melalui kesepakatan dengan beberapa negara misal Malaysia, Jepang, Thailand, dan China.
(bai/row)