Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas meluruskan polemik di masyarakat terkait niat Presiden Prabowo Subianto memaafkan para koruptor, dengan catatan mengembalikan seluruh hasil korupsi ke negara. Menurutnya, hal itu bukan berarti membiarkan para pelaku rasuah bebas dari hukuman.
“Yang penting teman-teman semua dan seluruh masyarakat Indonesia pahami, yang pertama adalah bahwa apa yang diucapkan oleh Bapak Presiden itu adalah merupakan sebuah langkah, upaya, bukan berarti dalam rangka untuk membiarkan pelaku-pelaku tindak pidana korupsi kemudian itu bisa terbebas. Sama sekali nggak,” tutur Andi di Kantor Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 23 Desember 2024.
Menurut Andi, pemberian grasi, amnesti, dan abolisi merupakan hak konstitusional yang diberikan oleh negara. Para pakar atau pun akademisi yang menganggap hal itu bertentangan dengan Undang-Undang mungkin saja lupa menyebut Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dan lainnya.
“Tetapi menyangkut soal grasi, amnesti, dan abolisi, itu sebenarnya adalah sesuatu yang sudah berlangsung lama. Dari sisi sejarahnya itu pertama kali muncul di Perancis, kemudian juga akhirnya berkembang dan itu adalah merupakan sebuah upaya bagi kepala negara untuk melakukan proses pengampunan. Nah cuma kan tahapannya berbeda-beda,” ucap dia.
Andi menegaskan, pernyataan Prabowo yang ingin memaafkan koruptor masih sesuai dengan aturan Undang-Undang. Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi tertinggi memberikan ruang, dan seluruh negara pun menurutnya menganut hal yang sama.
“Kekuasaan untuk memberikan grasi, abolisi, maupun amnesti itu adalah kekuasaan Yudisial yang seharusnya hanya dimiliki oleh kekuasaan Yudikatif. Tetapi oleh Undang-Undang Dasar itu memberikan ruang, di mana kepala negara bisa melakukan itu,” ungkap Andi.
Menurut Andi, niatan Prabowo Subianto itu dapat terwujud jika Mahkamah Agung (MA) dan DPR turut menyetujui.
“Dulu pemberian grasi, amnesti, abolisi, itu tanpa perlu meminta pertimbangan ke Mahkamah Agung ataupun ke DPR. Tapi setelah ada amandemen, kan sekarang menjadi berubah. Kalau mau lakukan grasi, wajib minta pertimbangan ke Mahkamah Agung. Kalau mau lakukan amnesti, itu ke DPR, dan lain-lain sebagainya,” tutur Andi.
“Itu menandakan bahwa kekuasaan Presiden itu tidak absolut banget. Artinya perlu ada, supaya ada yang mengawasi, makanya perlu ada pertimbangan dari kedua institusi,” sambungnya.
Dengan begitu, kata Andi, membebaskan koruptor tidak bisa sembarangan dilakukan oleh Prabowo lantaran ada unsur pengawasan, yakni MA dan DPR.
Kondisi tersebut pun pastinya membuat seorang kepala negara mempertimbangkan dengan matang terlebih dulu sebelum memberikan grasi, amnesti, atau pun abolisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
“Tidak serta merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan dari kedua lembaga tersebut,” jelas Andi.