Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% bakal menjadi catatan hitam jelang 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto.
Dia mengatakan bahwa penerapan kebijakan yang bakal dimulai per 1 Januari 2024 memberikan efek yang luas terhadap masyarakat. Apalagi, pelaku usaha juga melayangkan protes keras terhadap langkah tersebut.
“PPN 12% akan jadi catatan hitam paling bersejarah di 100 hari pemerintahan prabowo gibran. Karena efek nya luas ke masyarakat, pelaku usaha juga protes ini ibaratnya program Prabowo mengorbankan banyak pihak,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (24/12/2024).
Menurutnya, terdapat 3 faktor utama yang membuat pemerintah memaksakan untuk menerapkan PPN 12%. Pertama, pemerintah sedang butuh penerimaan pajak untuk biayai kebutuhan pembayaran bunga dan utang jatuh tempo.
Apalagi, kata Bhima, total debt service tahun depan mencapai Rp1.300 triliun setara 59,3% total target penerimaan perpajakan 2025.
“Utang ini jadi masalah serius kalau sampai pemerintah gagal bayar utang bisa sentimen negatif di pasar keuangan, rupiah bisa melemah drastis,” katanya.
Kedua, Bhima melanjutkan bahwa kebutuhan program quick win seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan lumbung pangan atau food estate akan menguras anggaran yang sangat besar.
Pemerintah akhirnya mencari jalan pintas dengan menganggap PPN sebagai solusi menambal defisit apbn yang nyaris menyentuh 3% karena besarnya dana untuk program 2025.
Bhima pun menyebut bahwa alasan terakhir kenaikan tarif PPN 12% dianggap cara paling mudah mendapatkan pemasukan baru dibanding kerja keras lainnya seperti mengejar kepatuhan pajak dan memajaki kekayaan.
“Pemerintah ini kan tidak mau susah mikir, suka jalan pintas, maka siapapun bisa dengan mudah naikan tarif pajak. Sementara kejar pajak kekayaan /wealth tax butuh kerja ekstra untuk cocokkan data, penagihan hingga mengejar aset di luar negeri. Karena malas, maka yang diburu adalah wajib pajak eksisting,” pungkas Bhima.