Surabaya (beritajatim.com) – Selama satu tahun kebelakang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang (LBH Malang), Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya), Tim Advokasi Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan (TATAK), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ICJR, Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH-NU) Kota Malang bersama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya turut membersamai perjuangan keluarga korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK).
Tentunya untuk mendapatkan keadilan yang direnggut oleh Negara di tengah tidak bertanggung jawabnya negara dalam upaya penuntasan kasus Tragedi Kanjuruhan. JSKK pun membuat catatan satu tahun paska tragedi kemanusiaan tersebut. Berikut pers release yang disampaikan JSKK pada beritajatim.com.
1 Oktober 2023, tepat satu tahun yang lalu Tragedi Kanjuruhan terjadi. Tepat satu tahun pula, negara mengobral janji palsunya untuk dapat menuntaskan Tragedi Kanjuruhan secara utuh dan menyeluruh.
Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 menjadi catatan kelam Hak Asasi Manusia dan persepakbolaan di Indonesia. Tragedi ini menegaskan bahwa negara abai terhadap tanggungjawabnya untuk menyelesaikan kasus ini secara adil dan bermartabat dan tetap melanggengkan Impunitas.
Setidaknya dalam tragedi tersebut terdapat 135 korban meninggal dunia, serta ratusan orang lainnya luka-luka yang hingga sampai dengan saat ini belum mendapatkan keadilan sepenuhnya.
Dalam peristiwa tersebut secara jelas menggambarkan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of Force) serta tindakan brutalitas aparat keamanan yang dipertontonkan oleh aparat keamanan (TNI-POLRI) dalam tragedi tersebut.
Penggunaan gas air mata yang serampangan membabi buta, mengakibatkan ratusan orang mengalami luka-luka hingga meninggal dunia. Peristiwa tersebut secara jelas menggambarkan belum terinternalisasikannya prinsip hak asasi manusia secara mendasar ke institusi Polri sebagaimana amanat Reformasi Kepolisian maupun TNI.
Dimana peristiwa tersebut lebih diperburuk dengan tindakan pengamanan yang tidak proporsional dan cenderung berlebihan. Lebih lanjut lagi, kami melihat bahwa negara kian tidak bertanggung jawab negara atas Tragedi Kanjuruhan dapat dilihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang menganggap remeh Tragedi Kanjuruhan pada Februari 2023 lalu.
Lebih lanjut, abainya pertanggungjawaban negara dalam memberikan rasa keadilan sepenuhnya terhadap keluarga korban Tragedi Kanjuruhan dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain, vonis Sidang Tragedi Kanjuruhan.
Kami menilai bahwa penjatuhan vonis hukuman yang ringan terhadap lima terdakwa Tragedi Kanjuruhan secara jelas jauh dari harapan keadilan bagi keluarga korban Tragedi Kanjuruhan dimana vonis tersebut rata-rata kurang dari 2 tahun.
Terlebih lagi, vonis yang dijatuhkan jauh dari harapan keluarga korban yang menginginkan terdakwa dapat diputus pidana seberat-beratnya. Selain itu, dalam upaya putusan tersebut, sejak awal kami telah mencurigai proses hukum yang terkesan tidak sungguh-sungguh untuk mengungkap Tragedi Kanjuruhan. Bahwa kami menduga proses hukum tersebut dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail) serta melindungi pelaku kejahatan Tragedi Kanjuruhan.
Selain itu, upaya pertanggungjawaban pidana pelaku hanya berhenti di pelaku lapangan, sedangkan kami menilai bahwa upaya penuntutan pertanggungjawaban individu harus dituntut dalam kapasitasnya sebagai penanggungjawab komando sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 42 ayat (2) UU No.26 Tahun 2000 Pengadilan HAM.
Tragedi Kanjuruhan menunjukkan bagaimana Kepolisian dalam menjalankan tugasnya dengan sangat berlebihan. Secara terang-terangan peristiwa ini memperlihatkan bagaimana Kepolisian tidak melaksanakan serta tidak memahami perihal tahapan-tahapan dalam penggunaan kekuatan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkapolri Nomor 08 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Selain itu penggunaan gas air mata juga telah melanggar Pasal 2 ayat (2) yang menerangkan bahwasannya “Penggunaan kekuatan harus melalui tahap mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum”.
Renovasi Stadion Kanjuruhan Ditengah belum didapatkannya rasa keadilan secara menyeluruh bagi keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, pemerintah justru saat ini lebih fokus pada upaya renovasi Stadion Kanjuruhan.
Upaya renovasi Stadion Kanjuruhan pada faktanya tidak sejalan lurus dengan proses penegakan hukum yang berkeadilan. Alih-alih negara menegakkan hukum secara berkeadilan, sampai sekarang proses pengadilan yang sesat justru memperkuat impunitas dan belum dilakukannya penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat pada peristiwa Kanjuruhan. Selain itu berdasarkan informasi yang kami himpun, upaya renovasi stadion dilakukan secara sepihak, minim transparansi dan partisipasi masyarakat umum terkhusus korban dan keluarga korban terdampak akibat Peristiwa Kanjuruhan.
Penghentian penyelidikan dan penolakan laporan selain menyoroti hal tersebut, kami turut juga menyoroti terkait dengan beberapa usaha yang dilakukan oleh keluarga korban untuk menuntut keadilan dengan melakukan pelaporan ke pihak Kepolisian terkhusus Bareskrim Mabes Polri.
Setidaknya di bulan November 2022, April 2023 lalu, keluarga korban beserta dengan beberapa perwakilan organisasi masyarakat sipil telah melakukan pelaporan ke Bareskrim Polri terkait dengan Tragedi Kanjuruhan, sayangnya dalam pelaporan tersebut pihak Kepolisian menolak laporan yang telah diajukan oleh koalisi masyarakat sipil bersama dengan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan dengan alasan tidak kuatnya bukti yang diajukan.
Selain pelaporan yang dilakukan di Jakarta, keluarga korban turut juga melakukan pelaporan di Kota Malang. Bahwa salah satu keluqrga korban yakni Devi Athok Yulfitri dan Rizal Putra Pratama telah melaporkan peristiwa Kanjuruhan kepada Polres Malang atas adanya dugaan tindak pidana Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Pasal 340 KUHP pada November 2022 lalu. Tetapi hingga saat ini, laporan tersebut masih dalam proses penyelidikan dan berakhir dengan penghentian penyelidikan (SP3) karena tidak memenuhi unsur pelaporan pada 7 September 2023 lalu.
Beberapa laporan yang telah diajukan oleh keluarga korban ataupun koalisi masyarakat sipil menunjukkan bahwa pemerintah masih enggan untuk dapat menyelesaikan Tragedi Kanjuruhan melalui penegakan hukum secara berkeadilan, terlihat dari berapa pelaporan yang justru ditolak mentah-mentah tanpa mempertimbangkan dokumen atau bahan yang telah dibawa oleh keluarga korban Tragedi Kanjuruhan.
Bahwa kami menilai pernyataan yang dikeluarkan oleh representasi negara tersebut menyesatkan, karena tidak dilakukannya penyelidikan pro justitia dugaan pelanggaran HAM berat melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM melainkan menggunakan mekanisme Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
Kealpaan Negara Dalam Tragedi Kanjuruhan
Selain beberapa catatan diatas, kami turut memberikan perhatian terhadap lambatnya negara dalam upaya penuntasan Tragedi Kanjuruhan. Kami menilai bahwa Komnas HAM sebagai representasi negara belum cukup hadir untuk memberikan keadilan bagi keluarga korban Tragedi Kanjuruhan selama kurun waktu satu tahun kebelakang, kami melihat bahwa Komnas HAM tidak serius sejak dari awal dalam menangani dugaan penyelidikan pelanggaran HAM berat atas Tragedi Kanjuruhan.
Hal tersebut turut juga diperkuat dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM terkait dengan Tragedi Kanjuruhan yang menyatakan bahwa tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut.
Selain hal tersebut, kami turut juga menyoroti bagaimana alpanya pemerintah dalam menyikapi Tragedi Kanjuruhan. Dalam momentum peringatan satu tahun ini pula, kami koalisi masyarakat sipil dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan menuntut negara agar:
1. Presiden Republik Indonesia untuk dapat memastikan Tragedi Kanjuruhan dapat diungkap secara tuntas dengan tidak hanya menyentuh aktor lapangan saja, tetapi juga dapat menyeret aktor komando serta petinggi korporasi dalam tragedi ini;
2. Kapolri untuk dapat memerintahkan Kabareskrim memulai pengembangan proses penyelidikan dan penyidikan atas tragedi Kanjuruhan serta memerintahkan jajarannya untuk dapat membongkar peristiwa ini dengan tuntas dan berkeadilan;
3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan pengkajian, pendalaman dan penyelidikan pro-yustisia terkait Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan menggunakan mekanisme penyelidikan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
4. Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak Indonesia segera melakukan Penindakan, Pengawasan dan Pemantauan penegakan hukum terhadap korban perempuan dan anak dibawah umur;
5. Komisi Kepolisian Nasional segera melakukan pengawasan terhadap pengembangan proses penegakan hukum oleh Kepolisian Republik Indonesia; dan
6. Menpora dan PSSI segera menetapkan 01 Oktober sebagai hari duka Sepakbola Nasional.
Jakarta, 1 Oktober 2023 Jakarta – Malang
Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)- Dimas Bagus Arya Lembaga Bantuan Hukum pos Malang
(LBH Malang) – Daniel Alexander Siagian
Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya) – Abd.Wachid Habibullah LPBH-NU Kota Malang – Fachrizal Afandi
ICJR – Erasmus Abraham Napitupulu
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – Muhammad Isnur
TATAK – Imam Hidayat