Pilkada untuk Kesejahteraan Bersama
Aktivis yang Nyambi Jadi Politisi. Selalu belajar dari sekitar. Politisi Partai Golkar, Anggota DPR RI, Koordinator Presidium MN KAHMI
PRESIDEN
Prabowo Subianto melempar wacana pentingnya kita mengkaji ulang sistem
Pilkada langsung
yang saat ini berjalan. Proposal itu disampaikan pada HUT ke-60 Tahun Partai Golkar, beberapa waktu lalu.
Inti dari pesan Presiden bahwa
demokrasi
harus berjalan beriringan dengan kesejahteraan rakyat. Barangkali itu berbasis dari Pembukaan UUD 1945, “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”.
Dalam konteks tersebut, pemborosan APBN untuk Pilkada harus dihindari.
“Berapa puluh triliun (rupiah) habis dalam satu-dua hari, baik anggaran dari negara maupun dari masing-masing tokoh politik. Kalau dilakukan oleh DPRD, negara bisa hemat dan efisien seperti di Malaysia dan Singapura,” kata Presiden.
Tak menunggu lama, isu ini menjadi debat publik dan memancing pro dan kontra.
Jauh sebelum polemik tersebut muncul, penulis dalam Kolom di
Kompas.com
, beberapa waktu lalu, sudah mengulas
pentingnya penyempurnaan sistem politik
.
Ibarat tubuh manusia, sistem politik merupakan jaringan yang hidup dan saling memengaruhi satu sama lain.
Saat tangan kita tergores, misalnya, maka mulut dan otak akan merasakan sakit. Begitu juga dengan sistem politik, bila virus moral hazard seperti
money politics
menjalar “merata” ke seluruh tubuh, maka demokrasi akan menjerit. Tak hanya itu, keuangan negara akan terpukul dan inflasi melejit.
Begitu juga dengan usia, di mana semakin lama (atau tua) sistem politik berlaku, maka perlu dilakukan penyempurnaan (evaluasi) untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah.
Saat pertama kali digelar, Juni 2005, Pilkada langsung membawa semangat demokratisasi pemilihan, yaitu memindahkan
votes right
dari meja parlemen ke meja rakyat di TPS.
Saat itu, konteks politiknya adalah bahwa kita baru keluar dari sistem Orde Baru yang otoriter, sehingga ruang untuk partisipasi publik di semua hal menjadi kebutuhan.
DPR saat Orde Baru tak lebih dari ornamen politik yang sulit melakukan terobosan. Tentu saja image parlemen hari ini berbeda dengan dahulu.
Setelah hampir dua dasawarsa berlangsung, benar bahwa Pilkada langsung menghasilkan kemajuan di beberapa daerah. Namun pada saat yang sama, terjadi penurunan kualitas demokrasi dan beban pembiayaan politik yang semakin besar.
Dampak negatifnya lebih massif daripada kemajuan di sejumlah titik tadi. Itu juga bukan preseden yang baru, karena di medio 2010-2012, Pilkada langsung juga sempat mendapat gugatan dari berbagai pihak.
Mengutip pandangan Ryas Rasyid, mantan Menteri Dalam Negeri, di
Kompas
tahun 2011, beliau mencatat setidaknya ada tiga dampak negatif Pilkada langsung yang memprihatinkan.
Yaitu penggunaan uang yang semakin marak untuk membeli suara konstituen (
vote buying
), tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang, dan potensi perilaku koruptif kepala daerah terpilih akibat
high costs
politik.
Kita harus berani mengakui bahwa tiga dampak negatif tersebut semuanya sudah terjadi hari ini.
Vote buying
misalnya, pada Pileg dan Pilpres lalu sebagian besar elite politik menyimpulkan bahwa praktik
money politics
tidak hanya terjadi, tapi dilakukan secara “ugal-ugalan”.
Kurang tegasnya penyelenggara Pemilu dalam melakukan pengawasan, membuat banyak pihak “menormalisasi” politik sembako, bantuan,
cash money
dan sebagainya.
Jumlahnya mencengangkan, mendekati Rp 1.000 Triliun di Pileg dan Pilpres lalu. Itu hitungan kasar dari penulis, yang terdiri dari Rp 200-an trilun biaya pelaksanaan dari APBN dan biaya yang dikeluarkan tiap caleg berjumlah ribuan.
Imbasnya, parlemen didominasi oleh mereka yang berlatar belakang pebisnis. Sepintas tidak salah dengan praktik tersebut. Namun, bila menengok frasa “ugal-ugalan” di atas, maka yang sesungguhnya terjadi adalah
unfairness competition
, pihak yang memiliki logistik berlebih (pengusaha) akan diuntungkan dari proses ini.
Hasilnya pun dapat dilihat pada Pileg terakhir (2024), di mana 61 persen anggota DPR terpilih terafiliasi dengan kelompok bisnis tertentu. Angka yang lebih besar bahkan terekam di Pemilu lima tahun sebelumnya.
Sementara para aktivis dan akademisi yang memiliki komitmen perjuangan, sering kali kalah di TPS dalam Pileg maupun Pilkada langsung, karena sulit bersaing dengan para pengusaha dalam mobilisasi logistik.
Di sisi lain, pemilih yang rata-rata lulusan SMP belum mencapai tahapan memilih secara rasional.
Akibatnya, keprihatinan kedua terjadi, di mana pemilih tidak mendapatkan pemimpin ideal yang bersih dan berpihak ke rakyat, karena
popular vote
sangat rentan dengan mobilisasi suara melalui
vote buying
tersebut.
Dampak lanjutannya, performance pembangunan di banyak daerah yang
busines as usual
selama rezim Pilkada langsung, menjadi bukti bahwa ada yang salah dengan sistem yang berlaku selama ini.
Alih-alih membangun, ratusan kepala daerah hasil Pilkada langsung justru menjadi tersangka kasus korupsi.
Data KPK menyebutkan, sejak 2004 hingga 2023, terdapat 601 kasus korupsi di pemerintah kabupaten, kota, melibatkan wali kota, bupati, dan jajarannya. Angka ini akan bertambah jika kasus di provinsi dimasukkan.
Artinya, kita tidak bisa lagi menganggap kasus-kasus tersebut sebagai moral hazard personal. Bila kejadiannya massal, maka itu menggambarkan sistem politik yang sakit atau terganggu.
Benar bahwa tidak selalu Pilkada langsung memacu seorang calon untuk melakukan korupsi. Namun, faktor politik biaya tinggi membuat mereka tidak punya pilihan. Ditambah hasrat berkuasa yang membuncah, maka korupsi tak terelakkan.
Sekali lagi, baik Pilkada langsung maupun perwakilan, dua-duanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Lebih dari itu, keduanya harus
relate
dengan kultur politik aktual di negara tersebut.
Menurut penulis, Pilkada langsung hanya akan efektif bila masyarakat imun terhadap
money politics
. Itu artinya pendapatan per kapita (IPC) warga negara harus meningkat dulu, sehingga roda demokrasi langsung akan berjalan di atas jalan pikiran, bukan di atas statistik kemiskinan dan pengangguran.
Fenomena ini juga mengingatkan kita pada pidato Prof Dr Boediono, yang juga Wapres 2009-2014, pada pengukuhan Guru Besarnya di UGM, 2007.
Beliau menganalisis bahwa
based on
pengalaman empiris di seluruh dunia selama 1950-1990, rezim demokrasi di negara-negara dengan IPC 1.500 dollar AS atau kurang hanya bertahan 8 tahun.
Lalu, negara dengan IPC 1.500-3.000 dollar AS, demokrasinya
average
stabil hanya dalam 18 tahun.
Baru pada negara dengan IPC di atas 6.000 dollar AS, daya tahan sistem demokrasi jauh lebih besar.
Dalam hal ini, bila melihat IPC Indonesia saat ini sekitar 4.900 dollar AS, maka perlu strategi tertentu untuk mengawal demokrasi agar
on the tracks
dan memiliki daya tahan.
Termasuk keberanian kita melakukan transisi dan modifikasi, agar tidak “plek-ketiplek” meng-
copy
demokrasi yang berlaku di negara maju. Misalnya, demokrasi liberal di negara Barat yang dianggap ideal di sana, belum tentu sesuai dengan kultur masyarakat di Timur.
Pengalaman negara lain dalam Pilkada juga beragam, termasuk banyak juga yang memilih melalui parlemen, bahkan ditunjuk oleh kepala negara.
Misalnya India, di mana gubernur negara bagian ditunjuk oleh PM. Lalu Jerman, yang gubernurnya atau
Ministerpräsident
dipilih oleh parlemen. Begitu juga Spanyol, Italia dan banyak negara lainnya.
Memang sebagian negara-negara di atas menganut sistem parlementer. Namun, ada juga negara dengan sistem presidensial yang melakukannya.
Termasuk AS di masa-masa awal, di mana gubernur di sejumlah negara bagian sempat dipilih oleh parlemen.
Indonesia selama era Orde Baru menerapkan sistem presidensial. Saat itu pemilihan gubernur dilakukan melalui penunjukan oleh presiden. Terlepas dari image otoritarian, tapi semua mengakui bahwa pembangunan di era Orde Baru relatif lebih sistematis daripada era sekarang.
Poinnya adalah, selama pemerintah dan DPR berkomitmen menjaga segala bentuk potensi pelanggaran, pemilihan kepala daerah melalui DPRD belum tentu lebih buruk dari Pilkada langsung.
Begitu juga dengan
Pilkada Langsung
yang berjalan selama ini dan menghasilkan ratusan kasus korupsi.
Bila memang kita ingin mempertahankan sistem langsung, maka perlu penyempurnaan sistem penyelenggaraan Pilkada secara ketat. Tujuannya agar virus lama dapat diminimalkan, khususnya
money politics
dan keterlibatan birokrasi.
Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu juga memberikan 10 catatan dalam Perppu saat pembatalan Pilkada via DPRD. Pertanyaannya, apakah 10 catatan itu sudah dilaksanakan? Atau jangan-jangan kita tidak menghiraukannya?
Di atas semuanya, penulis memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo yang membuka diskursus ini di awal-awal pemerintahannya. Sehingga tidak memancing spekulasi adanya
vested interests
, sebagaimana rencana amandemen UUD 1945 yang gagal tahun lalu, karena terlalu dekat dengan Pemilu.
Dengan adanya perdebatan publik di awal pemerintahan, semua pihak dapat menyampaikan pikirannya, sehingga nantinya akan ditemukan formula terbaik untuk mendorong Pilkada yang prorakyat, prokesejahteraan, bukan hanya asal kelihatan demokratis.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.