Jakarta –
Riset health collaborative center (HCC) menemukan 34 persen siswa SMA atau remaja di DKI terindikasi masalah kesehatan jiwa. Hanya empat dari 10 anak di antaranya yang mendapatkan akses pengobatan.
Banyak remaja cenderung memilih bercerita kepada teman sebaya, alih-alih mengeluhkan persoalan kepada guru konseling atau guru BK. Alasannya, terkait privasi.
“Seolah-olah sudah ada keyakinan bila bercerita ke guru BK, ‘oh ini anak nakal’, ‘oh ini si pembuat masalah’,” demikian sorot peneliti utama Dr dr Ray Wagiu, MKK, FRSPH, dalam temu media, Selasa (17/12/2024).
Hasil riset tersebut juga sekaligus menunjukkan lebih dari 20 persen anak dengan masalah mental mengalami kesepian. Dipicu karena konflik dengan teman, tidak memiliki teman sebaya yang dinilai akrab, dan tren berikutnya adalah terpisahnya interaksi sosial akibat terlalu banyak penggunaan gadget dan bermain media sosial.
Hal ini pula yang diamini mantan Menteri Kesehatan RI Prof Nila Moeloek, fenomena terlalu banyak bermain media sosial jelas berdampak buruk pada kesehatan jiwa anak termasuk remaja.
“Dulu, ada kebiasaan setiap makan bersama keluarga, selalu menceritakan kejadian atau aktivitas dalam satu hari, dengan orangtua. namun, sekarang, itu semua anak-anak di meja makan pun semua menjadi main handphone,” tuturnya.
“Ini yang kemudian menurut saya terutama anak-anak, lama-kelamaan akan menjadi lonely, karena temannya itu hanya handphone,” sorot dia.
Prof Nila menilai perlu ada kebijakan dari pemerintah terkait pengaturan penggunaan media sosial, agar tidak berdampak negatif pada masyarakat terutama kelompok anak. Misalnya, seperti yang terjadi di Belanda, usia anak tidak diperkenankan menggunakan gadget.
Tren kesepian juga disebut dr Ray tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga Indonesia. Sekitar 60 persen orang dewasa mengalami perasaan kesepian, termasuk saat berada di ruang-ruang publik, karena seringkali interaksi antarorang tidak berkualitas.
Kebanyakan tetap menghabiskan waktu di media sosial. Sulit untuk benar-benar terlepas dari gadget, meski sedang berinteraksi dengan orang.
“Pada anak, kesepian itu bisa menjadi lebih kronis, kenapa? Karena dia ada di masa paling aktif, tapi dia nggak menemukan itu, bahkan di tempat bermain, di rumah,” pungkasnya.
(naf/kna)