Jakarta –
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyebut tren kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak masih tinggi. Terlihat dalam pantauan perbandingan data periode 2016 dan 2024. Lebih dari tiga hingga empat persen perempuan dan anak di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual.
Hal ini menurutnya termasuk kondisi ‘darurat’. Mengingat, perempuan mengisi hampir separuh populasi Indonesia, yakni 49,42 persen, dan anak sebanyak 31,6 persen.
“Kita menyatakan darurat kekerasan seksual untuk perempuan dan anak,” kata dia dalam Forum Merdeka Barat, Senin (16/12/2024).
Apa Pemicunya?
Beberapa faktor di balik tingginya kasus kekerasan seksual anak dan perempuan adalah minimnya ruang aman bagi kelompok tersebut. Terlebih, ada tren nihilnya kepedulian di masyarakat sekitar, sehingga korban seringnya sulit mendapat pertolongan.
Kedua, berkaitan dengan pola asuh anak. Anak saat ini lebih dekat dengan gadget, tetapi dampaknya tidak selalu positif. Sejumlah contoh kekerasan seksual sering didapatkan dari kedekatan dengan gadget, tanpa pengawasan ketat orangtua.
“Orangtua hanya tau anaknya sedang belajar di gadget,” tutur dia.
“Anak-anak kita sekarang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, beberapa kali saya turun ke lokasi kabupaten, atau kota yang ada kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Misalnya di Banyuwangi anak umur 6 tahun mengalami kekerasan seks hingga akhirnya meninggal,” pungkasnya.
Prevalensi kasus kekerasan terhadap perempuan di usia 15 tahun ke atas dari pasangan juga terpantau tinggi. Kekerasan fisik dialami 1,8 persen dari populasi, sementara angka kekerasan seksual relatif lebih tinggi yakni 1,9 persen.
Pada kasus kekerasan emosional, KemenPPPA juga mencatat angka tinggi korban sebanyak 4,1 persen. Namun, dari segala aspek, dua jenis kekerasan tertinggi yang dialami perempuan dari pasangan adalah persoalan ekonomi dan pembatasan aktivitas.
(naf/kna)