Jakarta –
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) telah mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto untuk meminta agar kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dapat diperpanjang. Sebab masa berlaku kebijakan gas murah untuk industri ini akan habis pada 2024 ini.
Ketua ASAKI Edy Suyanto mengatakan surat permintaan ini diajukan pekan lalu dengan tembusan Menteri Perindustrian dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Kalau kita membaca Permen ESDM terakhir, itu hanya sampai tahun 2024. Ini kan menjadikan sebuah pertanyaan, menjadi sebuah kekhawatiran daripada semua industri yang menerima, 7 sektor penerima HGBT, bagaimana kelanjutannya. Ini yang kami juga ingin mendapatkan sebuah kepastian,” kata Edy dalam Media Talks di Kantor Kementerian Perindustrian, Rabu (11/12/2024).
“Minggu lalu dari ASAKI kami juga sudah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo-Gibran, dan kami juga memberi terpusat ke Pak Men Perik dan Pak Menteri SGM bahwa industri keramik dalam negeri ini membutuhkan dua hal berkaitan energi gas. Satu, kepastian keberlanjutan daripada HGBT yang US$ 6,5 ini,” ucapnya lagi.
Menurutnya kebijakan gas murah ini menjadi sangat penting bagi keberlangsungan industri. Sebab lebih dari 30% ongkos produksi industri keramik dan kaca ini dipengaruhi oleh harga gas untuk industri.
“30% ke atas production cost-nya kami itu hampir di gas. Jadi itu satu yang sudah diberikan oleh pemerintah kepada kami, kami sangat mengapresiasi itu,” terang Edy.
Selain kepastian akan kelanjutan kebijakan gas murah untuk industri, Edy turut meminta Prabowo untuk memperlancar suplai gas untuk industri. Sebab keterbatasan suplai gas murah ini secara langsung dapat menurunkan utilisasi industri keramik dan alat makan lainnya.
“Ya gimana kita memproduksi full kalau harga gasnya hanya boleh pakai 60%? Bagaimana memproduksi full kalau hanya boleh pakai 70%? Sisanya kita harus membayar dengan biaya teramat mahal, US$ 13,8 (per MMBTU) yang mana itu tidak berdaya saing,” katanya.
Belum lagi menurut Edy mahalnya harga gas di RI ini juga membuat banyak investor ogah untuk menanamkan modal. Apalagi bagi investor yang baru membangun pabrik di Tanah Air karena tidak mendapat bantuan keringanan harga gas dari kebijakan HGBU tadi.
“Kembali lagi adalah gas. Untuk industri dalam negeri, meskipun kita sebagai penerima HGBT, untuk industri baru itu dikenakan harga gas US$ 13,8 per MMBTU. Sedangkan di Malaysia, semua industri mendapatkan harga gas yang sama di angka US$ 10,” ucapnya.
“Jadi bagi mereka produsen yang akan ekspansi, lebih untung, lebih murah, lebih efisien adalah di sebelah US$ 10 (per MMBTU), kita US$ 13,8 untuk sesama pemain baru,” terang Edy lagi.
(kil/kil)