JAKARTA – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membantah ingin mengembalikan sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kepada DPRD. Ia cuma mau kalau sistem pemilihan Pilkada langsung bisa juga dievaluasi.
Tito menilai ada dampak positif dan dampak negatif dari pilkada langsung. Sehingga, usulan yang disampaikan bukan untuk kembali ke sistem lama, tetapi hanya untuk evaluasi.
Menurut mantan Kapolri itu, evaluasi sistem pilkada bukanlah sesuatu yang haram. Terlebih banyak catatan negatif selama 15 tahun penyelenggara pilkada langsung.
“Ini perlu dievaluasi. Evaluasi ini dilakukan kalau harus dengan kajian akademik, tidak bisa dengan empirik, berdasarkan pengalaman saja,” tutur Tito di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 18 November.
Apalagi, kata Tito, mengembalikan pilkada ke DPRD bukan perkara mudah. Sebab, butuh kajian akademik. Tidak bisa berdasarkan pengalaman-pengalaman. Pendapat dari masyarakat pun perlu diminta, apakah setuju sistem pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.
“Kenapa kajian akademik? Karena memiliki metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan dengan data, data kuantitatif, data kualitatif data gabungan kualitatif dan kuantitatif,” tuturnya.
Di sisi lain, Tito juga mengingatkan, agar publik tak menutup mata bahwa biaya politik yang dikeluarkan untuk maju sebagai kepala daerah melalui Pilkada langsung, sangat tinggi. Mulai dari APBN dan APBD yang dikeluarkan pemerintah, hingga biaya politik yang dikeluarkan calon kepala daerah (cakada) demi mendapat kendaraan politik dari partai.
“Kalau kepala daerah ini dari empirik saja, untuk keluar jadi calon kepala daerah, mau jadi Bupati kalau enggak punya Rp30 miliar, enggak berani. Nah kemudian Wali Kota lebih tinggi lagi, Gubernur (juga) lebih tinggi lagi,” tuturnya.
Tito menantang siapa saja yang berani mengatakan, untuk dapat maju sebagai Cakada tidak perlu biaya. Karena, menurut dia, hampir mustahil hal itu terjadi.
“Ya kalau ada yang menyatakan enggak bayar nol persen, saya pengen ketemu orangnya. Pertama untuk kendaraan politik, paling tidak yang legal-legal aja lah. Itu belum lagi untuk kampanye untuk saksi dan segala macam belum lagi teknisnya. Sementara kalau lihat pemasukan dari gaji 5 tahun Rp12 miliar, mana mau dia tekor. Keluarnya Rp30 miliar,” ucapnya.
“Kalau dia mau tekor, saya mau hormat sekali, itu berati betul-betul mengabdi untuk nusa bangsa gitu. Tapi yang apakah ada 1001 mungkin ada, mungkin, mungkin juga enggak, saya mohon juga kalau enggak ada,” lanjutnya.
Berkaca pada ongkos politik yang tinggi ini lah, Tito mengusulkan evaluasi pelaksanaan Pilkada langsung. Tito mengusulkan, sistem Pilkada secara langsung diterapkan secara asimetris. Artinya, tidak semua daerah bisa menyelengarakan pilkada langsung diukur dari indeks kedewasaan berdemokrasi.
“Saya sudah mulai dengan meminta Balitbang membuat index democracy maturity (IDM) per-daerah dan meminta BPS meminta indikator-indatornya,” ucapnya.
Menurut Tito, nanti setelah kajian selesai, di daerah dengan IDM Tinggi, bisa dilakukan Pilkada langsung. Sedangkan, daerah denga IDM rendah, bisa dilakukan mekanisme lain misalnya dipilih DPRD.
“Sekali lagi, saya tidak mengatakan kembali ke DPRD, tapi evaluasi dampak positif dan negatif Pilkada langsung. Dan jawabannya, evaluasi dengan kajian akademik,” ucap Tito.
Sebelumnya, Istana telah menanggapi usulan Tito untuk mengevaluasi Pilkada langsung. Hal ini disampaikan Juru Bicara presiden, Fadjroel Rachman. Ia mengatakan, Presiden Joko Widodo menolak pilkada dikembalikan dipilih oleh DPRD.
Hal ini sama dengan suara LSM, Pilkada langsung masih menjadi mekanisme pemilihan kepala daerah yang paling relevan di Indonesia. Pilkada langsung pada dasarnya telah menciptakan kedekatan antara rakyat dan pemimpin daerah dalam proses pembangunan lokal.
Menurut Fadjroel, Presiden Jokowi berpandangan, evaluasi pilkada tetap akan dilakukan namun hanya bersifat pada teknis penyelenggaraan.