Bojonegoro (beritajatim.com) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro telah memulai proses penyelidikan terkait Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) yang digunakan untuk pengadaan mobil siaga desa pada tahun anggaran 2022. Dalam penyelidikan ini, salah satu temuan yang menjadi perhatian adalah adanya selisih harga mobil siaga desa yang mencapai Rp128 juta per unit.
Kepala Kejari Bojonegoro, Badrut Tamam, menjelaskan bahwa saat ini mereka sedang menyelidiki dugaan penyimpangan dalam pengadaan mobil siaga desa. Indikasi yang tengah diselidiki mencakup proses penganggaran yang diduga tidak sesuai prosedur, serta adanya kecurigaan terkait rekayasa dalam pelaksanaan proyek ini.
“Fakta yang kami peroleh saat ini akan diperdalam selama proses penyelidikan. Selain itu, juga ada indikasi penggunaan cashback oleh pihak tertentu,” kata Badrut Tamam pada Kamis (26/10/2023).
Pengadaan mobil siaga desa ini didanai melalui BKKD tahun anggaran 2022. Dari 419 desa di Kabupaten Bojonegoro, sebanyak 384 desa telah menerima mobil siaga tersebut. Proses pengadaan mobil ini dilakukan melalui lelang yang diawasi oleh tim pelaksana yang dibentuk oleh pemerintah desa. Mobil yang dibeli adalah jenis APV GX dan Luxio, dan proses pembelian dilakukan secara “off the road.”
BACA JUGA:
Nama Suprianto Diukir Lagi di Prasasti Pemimpin Bojonegoro
“Pembelian off the road berarti kendaraan dibeli tanpa dilengkapi surat-surat resmi. Pengurusannya harus dilakukan sendiri. Total, terdapat 384 unit mobil siaga yang dibeli dari anggaran tahun 2022,” jelasnya.
Harga yang ditetapkan untuk pembelian “off the road” sebenarnya sesuai dengan faktur pembelian, dengan harga APV sekitar Rp114 juta dari nilai kontrak Rp242 juta. Ini berarti ada selisih sebesar Rp128 juta yang digunakan untuk pengurusan surat-surat kendaraan tersebut. Adapun harga Luxio sekitar Rp167 juta dari nilai kontrak Rp237 juta.
BACA JUGA:
Peningkatan Penanganan Kebakaran di Bojonegoro Mulai Agustus, Setahun Terjadi 443 Kejadian
Badrut Tamam menambahkan, pihaknya berharap mendapatkan dukungan dari semua pihak untuk mengembalikan uang tersebut kepada negara jika terbukti bahwa itu bukan hak mereka. Sesuai dengan undang-undang perbendaharaan negara, diskon, fee, atau cashback merupakan hak negara yang harus dikembalikan. Oleh karena itu, penegakan hukum pidana korupsi adalah upaya penyelamatan uang negara.
“Meskipun ada upaya pengembalian uang negara, itu tidak akan menghapuskan tindak pidana. Namun, dalam proses penyelidikan, kami juga mempertimbangkan aspek-aspek esensial seperti asas keadilan, kepastian hukum, dan manfaat umum,” tandasnya. [lus/beq]