Jakarta –
Presiden RI Prabowo Subianto memangkas anggaran makan siang gratis menjadi Rp 10 ribu per porsi. Ada kekhawatiran total yang dianggarkan dari semula Rp 15 ribu per orang menjadi Rp 10 ribu tidak mencukupi kebutuhan gizi ideal.
Menurut pakar epidemiologi Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia, keterbatasan anggaran tersebut sebetulnya bisa diakali dengan subsidi silang. Bukan tidak mungkin kebutuhan anggaran makanan berdasarkan ketersediaan bahan pangan di masing-masing daerah relatif berbeda.
“Terkait anggaran sekarang yang hanya 10 ribu, menurut saya ini bisa asal dilakukan prinsip subsidi silang, karena ada beberapa daerah yang 10 ribu itu betul-betul tidak cukup,” bebernya kepada detikcom, Selasa (3/12/2024).
“Jadi intinya harus ada mekanisme lain yang bisa memitigasi, melengkapi, menutupi kekurangan dari keterbatasan anggaran itu entah dari bentuk subsidi silang, public private partnership atau kerja sama lain yang ini sekaligus akan perlu dilakukan terutama pada wilayah yang membutuhkan anggaran lebih besar,” lanjut dia.
Terlebih menurutnya di daerah terpencil, ketersediaan penyiapan makanan termasuk dalam bentuk kemasan nantinya diperlukan biaya tambahan. Walhasil, kebutuhan di setiap daerah dinilai Dicky tidak bisa disamaratakan.
Program makan bergizi gratis memang sudah berbasis ilmiah dan terbukti memperbaiki gizi anak berdasarkan penerapan di banyak negara. Namun, tantangannya bila dilakukan di negara berkembang, tidak hanya berkaitan dengan jumlah SDM, melainkan kesiapan transportasi, hingga menu makan bergizi yang wajib dipastikan sesuai dengan yang diharapkan.
Program semacam ini juga disebut Dicky tidak efektif bila hanya berjalan selama satu tahun.
“Kuncinya kan di konsistensi, keberlanjutan, kalau hanya hitungan 1 tahun ya tidak akan berdampak signifikan,” pungkasnya.
NEXT: Penjelasan Pemerintah soal Hasil Uji Coba