Jakarta, CNBC Indonesia – Studi baru yang dipimpin ilmuwan China mengungkap evolusi dinasaurus dan kaitannya terhadap evolusi manusia di era teknologi.
Dinosaurus bertanduk mengalami penurunan kecerdasan, pendengaran, dan penciuman saat mereka tumbuh lebih besar selama 100 juta tahun, menurut studi gabungan antara peneliti China dan Amerika Serikat (AS).
Peneliti meyakini bahwa evolusi manusia akan mengikuti pola serupa jika terlalu bergantung dengan teknologi, dilaporkan South China Morning Post, dikutip dari MSN, Selasa (3/12/2024).
Menurut peneliti, indera penciuman pada spesies dinosaurus awal, Ceratopsia, lebih sensitif dibandingkan spesies dinosaurus akhir seperti Ceratopsida dan Protoceratops.
Tak cuma itu, pendengaran Ceraptosia juga memiliki frekuensi lebih tinggi dibandingkan Ceratopsida dan Theropoda non-unggas.
“Dinosaurus bertanduk awal memiliki volume otak yang relatif besar, bahkan lebih tinggi dibandingkan kebanyakan reptil yang masih ada,” menurut laporan tersebut.
Para ilmuwan menjelaskan bahwa meskipun fungsi-fungsi ini membantu dinosaurus melarikan diri dari predatornya ketika mereka masih kecil, namun seiring bertambahnya usia, fungsi-fungsi tersebut menjadi kurang berguna.
Ceratopsia yang dikenal dengan tanduknya merupakan dinosaurus herbivora yang hidup pada periode Jurassic dan Cretaceous.
Ceratopsia awal berjalan dengan dua kaki dan panjangnya satu hingga dua meter. Wujudnya serupa dengan Psittacosaurus dan Yinlong, yang berarti “naga bersembunyi” dalam bahasa Cina.
Meskipun Yinlong tidak memiliki tanduk yang besar, makhluk tersebut memiliki tengkorak yang menonjol dan berbentuk segitiga yang umum terjadi pada Ceratopsia.
Namun pada akhir periode Cretaceous, setelah hampir 100 juta tahun evolusi, Ceratopsia berjalan dengan empat kaki dan panjangnya mencapai sembilan meter. Mirip seperti Triceratops yang berevolusi hingga mampu melawan Tyrannosaurus Rex.
Para peneliti dari China University of Geosciences, Institute of Vertebrate Palaeontology dan Paleoanthropology, Nanjing Institute of Geology and Palaeontology, dan George Washington University, melakukan pemindaian CAT untuk menghasilkan gambar dan menganalisis rongga otak fosil tengkorak dinosaurus.
Dari situ, mereka dapat merekonstruksi ukuran otak dinosaurus. Salah satu peneliti, Han Fenglu, mengatakan Ceraptosia dalam evolusinya bertambah besar. Dinosaurus itu juga mengalami penambahan fitur pelindung untuk membantu mereka melawan dinosaurus karnivora dan predator lainnya.
“Makin besar ukuran mereka, kerentanan untuk menjadi mangsa makin berkurang. Lingkungan menjadi lebih aman bagi mereka dibandingkan pendahulu mereka yang lebih kecil yang selalu waspada terhadap ancaman dan mengandalkan kecepatan atau ketangkasan untuk melarikan diri,” kata Han.
“Ketika fungsi yang membantu dinosaurus tetap waspada tidak sering digunakan, fungsi tersebut menurun,” ia menambahkan.
Kaitannya dengan manusia, kata Han, mirip seperti efek ketergantungan terhadap teknologi. Jika terlalu mengandalkan teknologi untuk membantu menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, fungsi-fungsi otak dan indera manusia bisa menurun.
“Manusia kesulitan kembali hidup di hutan atau gurun setelah mengadopsi kehidupan modern. Kita harus mempertimbangkan cara mempertahankan ketajaman dan ketangkasan indera, serta kemampuan lainnya seiring dengan evolusi yang terus berlanjut,” kata dia.
Ia mengatakan saat ini manusia sudah sangat bergantung dengan teknologi dengan meningkatnya popularitas mesin dan sistem kecerdasan buatan. Makin lama, manusia akan makin bergantung dan tak bisa lepas dari alat-alat teknologi tersebut.
“Penemuan soal dinosaurus [yang bertambah bodoh] mengingatkan kita untuk tak terlalu bergantung [dengan teknologi],” kata dia.
“Dinosaurus tak memiliki kontrol untuk mengatur evolusi mereka. Sementara manusia memiliki kemampuan berpikir untuk mengatur tindakan dan pilihan,” ia memungkasi.
(fab/fab)