Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Pria Tanpa Lengan di NTB Jadi Pelaku Pelecehan Seksual, Apa Itu Pelecehan Seksual Nonfisik?

Pria Tanpa Lengan di NTB Jadi Pelaku Pelecehan Seksual, Apa Itu Pelecehan Seksual Nonfisik?

Jakarta: Seorang pemuda tanpa lengan asal Nusa Tenggara Barat (NTB), IWAS alias Agus Buntung (21), baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi.

IWAS, yang juga seorang seniman dan mahasiswa semester tujuh, diduga melakukan tindakan asusila, dia berandil bahwa hal tersebut tidak masuk akal

“Bukan saya apa, rasa sakit saya dituduh dengan memperkosa orang. Sedangkan saya buka celana nggak bisa, buka baju nggak bisa. Logikanya di mana dengan komentar yang tidak-tidak,” ujar IWAS dalam potongan video yang viral di media sosial.

Namun, pihak Kepolisian Daerah (Polda NTB) menegaskan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk bagi penyandang disabilitas. Dia dituduh melakukan tindakan pelecehan seksual nonfisik, apa itu? Yuk simak.
 
Apa Itu Pelecehan Seksual Nonfisik?
Pelecehan Seksual berdasarkan KBBI adalah pelanggaran batasan seksual orang lain atau norma perilaku seksual.

Tindak pidana kekerasan Seksual terdiri atas dua bentuk berdasarkan UU 12 Tahun 2022 atau TPKS pasal 4: Pelecehan Seksual nonfisik dan pelecehan seksual fisik.

Pelaku pelecehan seskual nonfisik sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 adalah

“Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”
 
Barang Bukti
Tentunya, membuktikan perbuatan ini bisa sangat sulit. Namun, UU TPKS Pasal 24 telah menjelaskan alat-alat bukti yang dianggap sah dalam proses pembuktian, diantaranya adalah: 

1. Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/ atau benda atau barangyang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

2. Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/ atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.

3. Termasuk alat bukti surat yaitu:

a. surat keterangan psikolog klinis dan/ atau
psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
b. rekam medis;
c. hasil pemeriksaan forensik; d,an/atau
d. hasil pemeriksaan rekening bank.

Nah, dalam kasus IWAS, pihak Kepolisian Daerah (Polda) NTB berandil bahwa dugaan pelecehan seksual yang dilakukan dilakukan dengan pemanfaatan komunikasi verbal yang mempengaruhi psikologis korban.

Pihak Polda mengungkap tindakan dugaan pelecehan IWAS tidak hanya terjadi satu kali, namun sebagai bagian dari rangkaian kejadian di berbagai lokasi, seperti salah satu taman di NTB dan penginapan.

Dia diduga melakukan tindakan tersebut dengan manipulasi verbal dan komunikasi yang merendahkan martabat korban, meskipun memiliki keterbatasan fisik yang signifikan.

Pihak penyidik menyatakan bahwa temuan tersebut berdasarkan sejumlah bentuk alat-alat bukti yang sudah dijabarkan, termasuk keterangan saksi dan hasil pemeriksaan dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

“Berdasarkan hasil tersebut, status IWAS yang awalnya menjadi saksi, kini resmi ditingkatkan menjadi tersangka,” kata Kepala Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Reserse Kriminal Umum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati, 

Pelecehan seksual bukan hanya berupa tindakan fisik, tetapi juga dapat berupa tindakan non-fisik seperti ucapan dan komunikasi yang merendahkan martabat seseorang.

Kasus IWAS di NTB menegaskan pentingnya kesadaran masyarakat mengenai berbagai bentuk pelecehan seksual dan ancaman hukuman bagi pelakunya.

Setiap bentuk pelecehan, baik fisik maupun non-fisik, harus dilawan demi melindungi hak-hak korban dan menjaga martabat kemanusiaan.

Baca Juga:
Kamu Merasa Benci Diri Sendiri secara Tiba-tiba? Ternyata Ini 5 Alasannya

Jakarta: Seorang pemuda tanpa lengan asal Nusa Tenggara Barat (NTB), IWAS alias Agus Buntung (21), baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi.
 
IWAS, yang juga seorang seniman dan mahasiswa semester tujuh, diduga melakukan tindakan asusila, dia berandil bahwa hal tersebut tidak masuk akal
 
“Bukan saya apa, rasa sakit saya dituduh dengan memperkosa orang. Sedangkan saya buka celana nggak bisa, buka baju nggak bisa. Logikanya di mana dengan komentar yang tidak-tidak,” ujar IWAS dalam potongan video yang viral di media sosial.
Namun, pihak Kepolisian Daerah (Polda NTB) menegaskan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk bagi penyandang disabilitas. Dia dituduh melakukan tindakan pelecehan seksual nonfisik, apa itu? Yuk simak.
 
Apa Itu Pelecehan Seksual Nonfisik?
Pelecehan Seksual berdasarkan KBBI adalah pelanggaran batasan seksual orang lain atau norma perilaku seksual.
 
Tindak pidana kekerasan Seksual terdiri atas dua bentuk berdasarkan UU 12 Tahun 2022 atau TPKS pasal 4: Pelecehan Seksual nonfisik dan pelecehan seksual fisik.
 
Pelaku pelecehan seskual nonfisik sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 adalah
 
“Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”
 
Barang Bukti
Tentunya, membuktikan perbuatan ini bisa sangat sulit. Namun, UU TPKS Pasal 24 telah menjelaskan alat-alat bukti yang dianggap sah dalam proses pembuktian, diantaranya adalah: 
 
1. Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
 
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/ atau benda atau barangyang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
 
2. Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/ atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.
 
3. Termasuk alat bukti surat yaitu:
 
a. surat keterangan psikolog klinis dan/ atau
psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
b. rekam medis;
c. hasil pemeriksaan forensik; d,an/atau
d. hasil pemeriksaan rekening bank.
 
Nah, dalam kasus IWAS, pihak Kepolisian Daerah (Polda) NTB berandil bahwa dugaan pelecehan seksual yang dilakukan dilakukan dengan pemanfaatan komunikasi verbal yang mempengaruhi psikologis korban.
 
Pihak Polda mengungkap tindakan dugaan pelecehan IWAS tidak hanya terjadi satu kali, namun sebagai bagian dari rangkaian kejadian di berbagai lokasi, seperti salah satu taman di NTB dan penginapan.
 
Dia diduga melakukan tindakan tersebut dengan manipulasi verbal dan komunikasi yang merendahkan martabat korban, meskipun memiliki keterbatasan fisik yang signifikan.
 
Pihak penyidik menyatakan bahwa temuan tersebut berdasarkan sejumlah bentuk alat-alat bukti yang sudah dijabarkan, termasuk keterangan saksi dan hasil pemeriksaan dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).
 
“Berdasarkan hasil tersebut, status IWAS yang awalnya menjadi saksi, kini resmi ditingkatkan menjadi tersangka,” kata Kepala Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Reserse Kriminal Umum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati, 
 
Pelecehan seksual bukan hanya berupa tindakan fisik, tetapi juga dapat berupa tindakan non-fisik seperti ucapan dan komunikasi yang merendahkan martabat seseorang.
 
Kasus IWAS di NTB menegaskan pentingnya kesadaran masyarakat mengenai berbagai bentuk pelecehan seksual dan ancaman hukuman bagi pelakunya.
 
Setiap bentuk pelecehan, baik fisik maupun non-fisik, harus dilawan demi melindungi hak-hak korban dan menjaga martabat kemanusiaan.
 
Baca Juga:
Kamu Merasa Benci Diri Sendiri secara Tiba-tiba? Ternyata Ini 5 Alasannya

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(WAN)