Urgensi Akal Sehat dan Kewarasan Politik pada Pilkada Serentak 2024
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
SEBENARNYA
perkara
Pilkada serentak
sangat fundamental sifatnya bagi demokrasi kita di Indonesia. Oleh karena itu, Pilkada semestinya dijalankan dengan sangat baik dan benar-benar berdasar asas-asas demokrasi yang substantif.
Mengapa urusan implementasi Pilkada yang substantif ini penting? Karena, sebagaimana dikatakan oleh Robert W. Flack bahwa “Local government is the foundation of democracy, if it fails, democracy will fail”.
Jadi pemimpin pemerintahan daerah yang akan dipilih adalah pemimpin dari institusi pemerintahan yang menjadi fondasi dari demokrasi, karena pemerintahan daerah adalah “tubuh politik” dari pemerintahan yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
Jika pembentukan kepemimpinan pemerintahan daerah via Pilkada tidak murni lagi berdasarkan asas-asas demokratis dan tidak lagi berdasarkan aspirasi “murni serta original” dari daerah, maka rontok pula tatanan pemerintahan demokratis secara nasional.
Pasalnya, meskipun di tingkat nasional pemerintahan boleh jadi berjalan relatif demokratis, tapi jika di tingkat daerah pemerintahan daerahnya justru ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan “lain” yang bukan berdasarkan kepentingan masyarakat di daerah, maka mau tidak mau yang terjadi kemudian adalah pembajakan demokrasi di daerah, yang membuat tatanan demokrasi secara nasional juga akan ikut rusak dan keropos.
Katakanlah, misalnya, jika seorang kandidat terlalu mengagung-agungkan narasi sebagai “orang pusat” di daerah atau orang yang ditunjuk oleh penguasa di pusat untuk daerah, maka pertama, otomatis kedaulatan rakyat daerah dan kepentingan masyarakat daerah akan tersubordinasi di bawah kepentingan penguasa di pusat atau kepentingan tokoh-tokoh kuat di pusat, yang selama ini acapkali tak sama dengan kepentingan rakyat daerah itu sendiri.
Kedua, dengan terlalu mencantelkan diri secara politik kepada “orang pusat”, artinya sang kandidat sebenarnya tak punya upaya dan inisiatif untuk menampilkan visi misi originalnya sebagai calon kepala daerah di hadapan publik di daerah.
Jika itu terjadi, maka itu adalah pertanda paling jelas bahwa sang kandidat sebenarnya tidak memahami daerahnya.
Salah satu indikasi paling sederhana dalam menilai apakah seorang calon kepala daerah benar-benar memahami daerah dan masyarakat daerahnya adalah bahwa sang kandidat tersebut memiliki visi misi mandiri yang biasanya tidak sama dengan penguasa di pusat, karena faktanya setiap daerah memiliki masalah dan keunikan masing-masing, yang khas daerah masing-masing pula.
Persoalan tersebut hanya dipahami oleh kandidat yang benar-benar memahami daerahnya secara detail dan komprehensif, bukan sekadar memahami persoalan daerah dari dokumen-dokumen formal yang ada atau dari bisikan-bisikan intelektual pelat merah di daerah.
Jika mayoritas para kepala daerah memahami secara mendalam daerahnya, lalu berhasil membangun daerahnya masing-masing, maka secara matematis maupun kuantitatif Indonesia juga akan terbangun.
Berbeda dengan, misalnya, jika pemerintah pusat berhasil meraih berbagai prestasi ini dan itu, belum tentu daerah-daerah ikut menikmati prestasi tersebut.
Oleh karena itulah mengapa kepemimpinan daerah yang lahir dari proses Pilkada yang demokratis sangat krusial untuk demokrasi di satu sisi dan untuk Indonesia sebagai negara bangsa di sisi lain.
Bahkan, dalam arena politik di Amerika Serikat, sudah biasa dikenal adigium berbunyi “All politics is local”.
Dalam dokumen keterangan konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa “America is built on local government. The future of our nation depends on local communities remaining at the core of representative democracy”.
Dari pernyataan tersebut bisa dirasakan bahwa begitu pentingnya pemerintahan daerah di Amerika Serikat, sehingga harus disebutkan di dalam penjelasan konstitusinya tentang urgensi dan signifikansi pemerintahan daerah terkait dengan eksistensi Amerika sebagai negara demokratis.
Selain perkara teoritis dan filosofis Pilkada di atas, Pilkada serentak kali ini juga menjadi cukup kritis sekaligus krusial sifatnya bagi Indonesia, karena kibasan dan pengaruh dari Pilpres tempo hari yang masih sangat kentara terasa.
Banyak kandidat yang hanya bisa menjual-jual nama penguasa di tingkat nasional, hanya karena merasa didukung oleh partai-partai politik yang memang menjadi koalisi pendukung pemerintahan baru di Jakarta.
Padahal, daerah membutuhkan pemimpin yang benar-benar memahami daerahnya secara mendalam di mana pemahaman tersebut kemudian dijadikan bahan dasar untuk meramu berbagai kebijakan ke depannya, bukan sekadar kemampuan membangun narasi “kedekatan” dengan presiden terpilih atau tokoh-tokoh kuat lainnya di pusat
kekuasaan
.
Celakanya lagi, klaim dan narasi kedekatan dengan pemerintah pusat juga dijadikan oleh beberapa kandidat, terutama calon gubernur, untuk menyelamatkan “jejaring” politik oligarkis yang telah mereka bangun selama sepuluh tahun terakhir, baik di daerahnya sendiri maupun di pusat kekuasaan nasional yang telah menikmati berbagai keuntungan ekonomi politik di daerah dalam beberapa tahun terakhir.
Sehingga, kemenangan paslon jenis ini justru akan semakin menguatkan tatanan oligarkis-aristokratis lama di daerah yang secara faktual sebenarnya tidak melakukan apa-apa di daerahnya, kecuali memperkaya dan memperkuat dirinya sendiri.
Pada konteks inilah sebenarnya Pilkada serentak kali ini saya katakan kritis dan krusial. Karena jika publik di daerah tak menyadari adanya kepentingan elitis-oligarkis yang sedang “mencatut” nama penguasa baru sebagai pemenang Pilpres tempo hari, maka daerah, disadari atau tidak disadari, akan terjebak ke dalam permainan “ekonomi politik” yang itu-itu saja.
Daerah akan dijadikan “pelayan” kepentingan jejaring ekonomi politik (lokal dan nasional) yang hanya ingin mendapatkan “cuan” dalam berbagai bentuk di daerah, tanpa memikirkan masa depan daerah itu sendiri, terutama masa depan masyarakat pemilih di daerah yang telah terlanjur “tertipu” oleh “narasi-narasi” kandidat yang menggambarkan dirinya sebagai “orangnya orang pusat”.
Padahal, sebagaimana kita ketahui, penguasa baru di pusat pemerintahan tentu sangat menginginkan daerah memiliki pemimpin terpilih yang benar-benar mengakar di daerahnya di satu sisi alias tidak sekadar mengandalkan kedekatannya dengan orang-orang dekat penguasa pusat atau tokoh-tokoh kuat di pusat.
Di sisi lain, memiliki visi ekonomi politik sekuat yang dimiliki oleh penguasa baru di tingkat nasional alias tidak sekadar mencatut dan menjual-jual program pusat di daerah sebagai kamuflase untuk menutupi diri sebagai kandidat yang sebenarnya tak memiliki visi misi yang jelas.
Namun, karena Indonesia begitu luas dan begitu banyaknya kepala daerah yang mencari dukungan dari pusat atau dari mesin-mesin politik pendukung penguasa baru di pusat pemerintahan, tentu penguasa baru tak memiliki waktu yang cukup untuk menyeleksi kandidat-kandidat tersebut.
Pada celah inilah sebenarnya beberapa oknum yang mengaku sebagai “orang dekat” pemenang Pilpres tempo hari atau orang dekat tokoh-tokoh kuat nasional menggunakan kesempatan untuk menawarkan dukungan politik kepada para paslon yang ada di daerah, hanya berbasiskan pada kesepakatan “saling menguntungkan” di antara sesama mereka, tanpa memasukkan kepentingan rakyat daerah ke dalam rumus kesepakatan tersebut.
Sehingga simbiosis mutualisme dangkal semacam itu akan ikut mendangkalkan tujuan awal dan substantif dari Pilkada, yang semestinya untuk kepentingan rakyat daerah, bukan untuk pihak-pihak yang menyamar sebagai malaikat di daerah.
Jadi secara ideal, jika kita kembali kepada cerita politik lokal di Amerika di atas, di Indonesia pun sebenarnya tak terlalu jauh berbeda dengan itu.
Namun dalam perkembangannya, bahkan setelah diberlakukan otonomi daerah sekalipun, yang terjadi justru sebaliknya. Kepala daerah malah semakin identik dengan raja-raja kecil di daerah yang seringkali menggunakan segala cara untuk memenangkan kontestasi di daerah, bukan sebagai pemimpin-pemimpin demokratis yang melegitimasi kekuasannya di daerah atas pengabdian nyatanya kepada masyarakat daerah dan keberhasilannya di dalam memajukan daerahnya.
Untuk itu, dalam menghadapi Pilkada serentak kali ini dan seterusnya, secara pelan-pelan masyarakat daerah mau tak mau harus terus belajar untuk mengikis keyakinan bahwa kepala daerah adalah raja kecil daerah di satu sisi.
Di sisi lain, harus pula belajar mengikis keyakinan bahwa kepala daerah harus berstatus sebagai “orangnya orang pusat” dan sebagai “orang titipan pusat”.
Masyarakat daerah harus mulai mencantelkan kehadiran seorang kandidat dengan kepentingan pribadi pemilih daerah, dengan kepentingan komunitas di mana pemilih daerah berada, dan kepentingan masyarakat daerah secara luas di mana pemilih adalah salah satu di antaranya.
Jika seorang kandidat hanya “menjual-jual” narasi kedekatan dengan tokoh-tokoh di pusat, tapi menutup mata dan telinganya atas berbagai persoalan yang dihadapi orang daerah dan masyarakat daerah, maka sebaiknya para pemilih di daerah harus belajar untuk menghilangkan rasa takut untuk tidak memilih mereka.
Takut untuk tidak mencoblos salah satu kandidat yang mengaku-ngaku didukung oleh pusat atau tokoh-tokoh kuat di pusat karena satu dan lain alasan, apalagi karena alasan intimidasi ini dan itu, tak ada artinya dibanding dengan nasib daerah dan nasib masyarakat daerah untuk lima tahun ke depan.
Sudah tak terhitung jumlah daerah yang gagal mengalami perkembangan dan kemajuan, hanya karena tergoda untuk mencoblos kandidat yang “berusaha” melinierkan dirinya dengan tokoh kuat di pusat, tapi secara substantif tidak bisa berbuat apa-apa untuk daerahnya setelah terpilih.
Semoga pemilih di daerah semakin memahami kepentingannya dan semakin terang perihal mana kandidat yang paling cocok untuk mewujudkannya. Semoga demikian.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.