Jakarta –
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan bahwa kemenangan Donald Trump di kontestasi Pilpres Amerika Serikat (AS) membuat para pelaku pasar was-was. Kondisi ini pun memberikan pengaruh bagi kondisi perekonomian global.
Hal ini disampaikan Mahendra dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI. Dana Moneter Internasional (IMF) sendiri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global stabil di 3,2%, lebih rendah 0,1% dari perkiraan pada bulan Juli.
“Risiko terpilihnya Donald Trump menjadikan para pelaku pasar memperhitungkannya dalam pelemahan perkiraan pertumbuhan ekonomi ke depan,” kata Mahendra, di Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Mahendra mengatakan, pada triwulan III 2024 perekonomian dunia tercatat mengalami penurunan, utamanya di sebagian besar negara-negara perekonomian utama global. Sikap waswas para pelaku pasar juga dibarengi dengan pelemahan ekonomi China dan peningkatan proteksionisme sejumlah negara.
Salah satu alasan utama yang membuat negara-negara memasang langkah proteksionisme karena kondisi ekonomi global dibayangi dengan memburuknya tensi geopolitik yang terjadi di berbagai penjuru, khususnya perang Ukraina-Rusia dan serangan Israel ke Gaza dan Lebanon.
“Menyikapi hal itu, berbagai bank sentral mengambil kebijakan yang lebih akomodatif dengan melonggarkan kebijakan moneter dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing,” ujarnya.
Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti rencana kenaikan tarif impor AS yang menjadi salah satu rencana kebijakan Donald Trump. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan kebijakan tersebut akan berimbas ke negara-negara ASEAN.
“Selama ini targetnya adalah AS terhadap RRT, karena RRT (China) surplus. Namun sama seperti Trump periode pertama, US Treasury-nya melihat semua partner dagang AS yang surplus,” ujar Sri Mulyani, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI di Senayan, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
“Jadi mungkin tidak hanya RRT yang kena, ASEAN seperti Vietnam dan beberapa negara lain akan dijadikan poin untuk fokus dan perhatian terhadap pengenaan tarif impor ini,” sambungnya.
Sri Mulyani menjelaskan, kondisi perekonomian global saat ini terpantau cukup dinamis, terutama dengan selesainya kontestasi Pilpres AS. Adapun Trump sendiri dijadwalkan akan mulai memimpin AS mulai bulan Januari 2025.
Namun menurutnya, reaksi market dalam menetapkan langkah antisipasi terhadap kebijakan keuangan di bawah Trump perlu dilihat lagi perkembangannya ke depan. Apalagi, langkah-langkah Trump kemungkinan akan cukup ekspansif.
“Karena mereka punya ambisi untuk memotong belanja hingga US$ 1 triliun dalam waktu 10 tahun, berarti US$ 10 miliar per tahun. Namun yield US Treasury 10 tahun mengalami kenaikan karena memproyeksikan bahwa APBN di AS mungkin relatif masih ekspansif,” ujar Sri Mulyani.
Sementara itu, Dolar AS mengalami penguatan dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini didorong oleh berbagai arah kebijakan Trump, terutama di bagian penurunan pajak korporasi, ekspansi belanja untuk beberapa yang sifatnya strategis, hingga langkah proteksionisme seperti kenaikan tarif impor tadi.
(shc/rrd)