Bisnis.com, JAKARTA — Para pemimpin negara Group of 20 akan menghadiri konferensi tingkat tinggi atau KTT G20 di Brasil. Mereka juga bersiap menghadapi perubahan tatanan global dengan kembalinya kekuasaan presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump.
Mengutip Reuters pada Senin (18/11/2024), diskusi mengenai perdagangan, perubahan iklim dan keamanan internasional akan menghadapi perubahan besar dalam kebijakan AS yang dijanjikan Trump saat menjabat pada Januari 2024, mulai dari tarif hingga janji solusi negosiasi terhadap perang di Ukraina.
Presiden AS Joe Biden datang di saat masa jabatannya hanya tersisa sekitar dua bulan lagi di Gedung Putih. Sementara itu, Presiden China Xi Jinping akan menjadi pemain sentral dalam KTT G20 yang diliputi ketegangan geopolitik di tengah pendudukan Palestina dan perang Rusia-Ukraina.
“Bukan hanya geopolitik yang membuat kami khawatir, tetapi juga peran China, peran ekonomi dan keuangannya, sangat menonjol dalam banyak masalah,” kata seorang pejabat Jerman, yang meminta tidak disebutkan namanya untuk membahas ketegangan diplomatik secara bebas.
Meskipun China berada di kubu Rusia dalam urusan Ukraina, Jerman yakin Beijing akan mendapati posisi tersebut lebih sulit untuk dipertahankan karena konflik tersebut telah menjadi globalisasi dengan pengerahan pasukan Korea Utara oleh Rusia yang membawanya “ke depan pintu China,” kata pejabat lain.
Para diplomat yang merancang pernyataan bersama untuk para pemimpin KTT tersebut telah berjuang untuk mencapai kesepakatan yang rapuh tentang bagaimana mengatasi perang yang semakin meningkat di Ukraina, bahkan seruan samar untuk perdamaian tanpa kritik terhadap peserta mana pun, kata seorang sumber.
Serangan udara besar-besaran Rusia terhadap Ukraina pada Minggu (17/11/2024) mengguncang sedikit konsensus yang telah mereka sepakati, dan para diplomat Eropa mendorong untuk meninjau kembali bahasa yang telah disepakati sebelumnya mengenai konflik global.
Amerika Serikat menanggapi serangan Rusia dengan mencabut pembatasan penggunaan senjata buatan AS oleh Ukraina untuk menyerang jauh ke wilayah Rusia.
Para pejabat Brasil menyadari bahwa agenda mereka untuk G20, yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan, mengenakan pajak kepada orang-orang super kaya, serta memerangi kemiskinan dan kelaparan, akan segera kehilangan semangat ketika Trump mulai mendiktekan prioritas global baru dari Gedung Putih.
Dorongan Brasil untuk melakukan reformasi tata kelola global, termasuk lembaga keuangan multilateral, mungkin juga menjadi hambatan bagi Trump, kata para pejabat Brasil.
“Trump tidak menghargai multilateralisme. Saya tidak melihat banyak kemungkinan pemerintahan Trump terlibat dalam masalah ini atau menunjukkan minat terhadapnya,” kata seorang sumber di kementerian keuangan Brasil kepada Reuters tanpa mau disebutkan namanya.
Xi diperkirakan akan memuji inisiatif Belt & Road yang dijalankan China seiring dengan upaya mereka untuk meningkatkan pengaruh ekonominya.
Brasil sejauh ini menolak untuk bergabung dengan inisiatif infrastruktur global, tetapi harapan akan kemitraan industri lainnya masih tinggi ketika Xi mengakhiri masa tinggalnya di Brasil dengan kunjungan kenegaraan di Brasilia pada hari Rabu.
Keputusan Brasil untuk tidak bergabung merupakan pukulan besar bagi hubungan kedua negara, kata Li Xing, profesor di Institut Strategi Internasional Guangdong, yang berafiliasi dengan Kementerian Luar Negeri China.
“China sangat kecewa atas keputusan Brasil tersebut,” katanya.
Adapun, pembicaraan perdagangan seputar G20 akan dipicu oleh kekhawatiran akan meningkatnya perang dagang AS-China. Hal tersebut seiring dengan rencana Trump untuk mengenakan tarif terhadap impor dari China dan negara-negara lain.
Semangat Trump dalam melakukan pemotongan pajak akan menambah tantangan bagi upaya Brasil untuk membahas perpajakan bagi orang-orang super kaya, sebuah isu yang sangat disukai Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva yang memasukkannya ke dalam agenda G20.
Sekutu terbaru Trump di Amerika Latin, Presiden libertarian Argentina Javier Milei, telah menarik garis merah mengenai masalah ini. Para perunding Argentina menolak untuk menyetujui penyebutan masalah tersebut dalam komunike bersama KTT tersebut, kata para diplomat.