Jakarta –
Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang kasus kanker tertinggi secara global, termasuk jenis kanker serviks dan payudara. Kedua kasus tersebut menjadi pemicu kematian terbanyak wanita di Indonesia akibat kanker.
Lebih dari 70 persen pasien teridentifikasi kanker saat sudah berada di stadium empat. Pada fase ini, kemungkinan bertahan hidup pasien dalam lima tahun ke depan ‘hanya’ berada di bawah 50 persen.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof dr Ari Fahrial Syam, SpPD, menekankan minimnya skrining dini menjadi pemicu kasus kanker serviks dan payudara pada wanita relatif masih tinggi.
“Kalau bicara soal kanker itu berarti tumor ganas, kalau kita bicara tumor ada jinak dan ganas, nah bagaimana kita mendeteksi, syukur-syukur saat dideteksi pada tumor jinak, misalnya melalui mammogram kanker payudara kalau ditemukan masih jinak tidak perlu diangkat payudaranya, kalau sudah kanker, satu payudara mesti diangkat,” tutur Prof Ari dalam agenda The 12th Annual Women’s Health Expo & Bazaar 2024, Sabtu (16/11/2024).
“Termasuk juga kanker serviks, kita ingin menemukan yang masih polip misalnya, atau masih infeksi kronis, kalau kita temukan di situ, kita sudah bisa putus mata rantainya menjadi kanker,” lanjut dia.
Perkembangan kanker di stadium lanjut memicu penyebaran sel kanker terus meluas. Karenanya, sebelum mengeluhkan gejala, sebaiknya rutin melakukan skrining. Skrining IVA test dan pap smear untuk kanker serviks, serta usg mammae untuk kanker payudara.
“Yang penting menurut saya juga bukan sekadar pemeriksaan kesehatan, tetapi follow up-nya, banyak pegawai-pegawai, tenaga klinis dalam pemeriksaan-pemeriksaan kesehatan, meski sudah diberi hasil, tidak difollow up, baik dari petugas maupun yang diskrining,” terang dia.
“Padahal itu penting karena kembali lagi, pasien-pasien yang ditemukan stadium 1 survival rate 90 persen, stadium 4, kurang dari 50 persen, kalau kita temukan dari sel pre cancer dia tidak akan pernah kena kanker karena sudah dihilangkan,” pungkasnya.
(naf/kna)