Trump juga menampilkan dirinya sebagai “pelindung” wanita, dengan mengatakan bahwa ia akan melindungi mereka, baik mereka “suka atau tidak.”
Sebaliknya, Harris sangat bergantung pada selebriti wanita seperti Beyonce, Jennifer Lopez, Lady Gaga, dan Oprah Winfrey, dengan bertaruh bahwa mereka akan membantunya menjangkau bahkan para pemilih wanita yang konservatif.
Harris tidak berkampanye secara terbuka tentang fakta bahwa ia akan menjadi presiden wanita pertama Amerika Serikat. Namun, ia menjadikan pembelaan hak-hak wanita, dan khususnya aborsi, sebagai salah satu landasan kampanyenya.
Hal ini tampaknya tidak cukup berhasil menarik perhatian wanita yang cukup konservatif.
Pada kampanye bulan lalu, mantan ibu negara Michelle Obama mengecam standar ganda yang digunakan untuk menilai kedua kandidat Gedung Putih itu.
“Kita berharap dia cerdas dan pandai bicara, memiliki kebijakan yang jelas, tidak pernah menunjukkan terlalu banyak kemarahan, dan terus-menerus membuktikan bahwa dia pantas,” katanya tentang Harris.
“Namun untuk Trump, kita tidak mengharapkan apa pun. Tidak memahami kebijakan, tidak mampu menyusun argumen yang koheren, tidak jujur, tidak sopan, tidak bermora,” ujar Michelle.
Harris adalah “pengumpul dana yang tangguh” yang “terhubung dengan para pemilih,” kata Center for American Women and Politics.
“Sayangnya, pertarungan ini juga menjadi contoh penelitian tentang hambatan yang dihadapi perempuan saat mencalonkan diri, yang terutama adalah ekspektasi yang tidak setara yang diberikan kepada perempuan, dan khususnya perempuan kulit berwarna, yang mencalonkan diri untuk jabatan,” imbuhnya.
“Perempuan telah memegang setiap jabatan politik di Amerika. Kecuali satu,” lanjutnya, sambil menambahkan: “Pekerjaan terus berlanjut.”
(ita/ita)