Bisnis.com, JAKARTA – iPhone 16 belum bisa dijual di Indonesia karena terkendala aturan dari pemerintahan.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan bahwa iPhone 16 “masih” ilegal untuk diperjualbelikan ke Indonesia.
Status ilegal ini diberikan untuk iPhone 16 lantaran Apple belum memenuhi komitmen tingkat komponen dalam negeri (TKDN) berupa realisasi investasi.
Aturan legalistas penjualan iPhone 16 pun turut disorot oleh media luar seperti Blomberg dan GSMArena.
Dalam artikel yang dirilis GSMArena pada Senin (28/10), disebutkan bahwa iPhone dilarang dijual di Indonesia karena komitemt Cupertino untuk mendanai lebih dari Rp1,71 triliun ($109 juta) untuk fasilitas penelitian dan pengembangan lokal tak terpenuhi.
“Berdasarkan angka terbaru, Apple sejauh ini telah menginvestasikan Rp 1,48 triliun ($95 juta), yang memaksa Kementerian Perindustrian Indonesia untuk memblokir penerbitan sertifikasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) untuk perangkat iPhone 16 dan Apple Watch Series 10,” tulis GSMArena dalam artikel berjudul “Indonesia bans sale and use of iPhone 16 series”.
Financial Times juga ikut menyoroti aturan penjualan iPhone 16 ini dengan menuliskan bahwa “akan ada banyak konsumen terdampak”.
Dalam artikel berjudul “Indonesia’s iPhone 16 ban will hurt consumers more than Apple”, mereka juga menjelaskan alasan mengapa iPhone 16 tak diperbolehkan dijual.
Selain karena komitmen investasi, pemerintah Indonesia juga mendorong kebijakan “Buatan Indonesia” untuk mendatangkan lebih banyak investasi asing dengan mempersulit perusahaan untuk mengimpor barang.
“Larangan ini terjadi pada saat yang tidak menguntungkan bagi Apple. Penjualan iPhone miliki telah berkembang di Indonesia, mencapai 40 persen dari pangsa pasar “premium” pasar ponsel pintar, yang mencakup perangkat seharga lebih dari $600,” tulis Financial Times.
Pihaknya kemudian menyoroti data penjualan ponsel pintar Indonesia yang tahun ini mengalami kenaikan dari kuarter pertama.
Meskipun dari datanya, pasar iPhone di Indonesia tak sebesar negara lain di Asia seperti China. Namun kebijakan seperti ini dinilai akan lebih merugikan konsumen lokal, dibandingkan dengan membantu perekonomian.