Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah Nepal sempat melakukan pemblokiran terhadap 26 platform media sosial. Larangan tersebut kini telah dicabut lantaran memicu demonstrasi besar-besaran di sana.
Adapun daftar media sosial tersebut antara lain Facebook, Messenger, Instagram, YouTube, WhatsApp, X (sebelumnya Twitter), LinkedIn, Snapchat, Reddit, Discord, Pinterest, Signal, Threads, WeChat, Quora, Tumblr, Clubhouse, Mastodon, Rumble, VK, Line, IMO, Zalo, Soul, Hamo Patro, dan BeReal.
Menurut laporan Kathmandu Post, Rabu (10/9/2025) pemblokiran tersebut awalnya dilakukan karena sejumlah platform besar tidak mematuhi kewajiban registrasi dengan pemerintah.
Tenggat waktu pendaftaran selama tujuh hari telah berakhir pada pekan lalu.
Perdana Menteri Nepal KP Sharma Oli yang kini telah mundur dari jabatannya, menekankan langkah tersebut bukan soal sensor, melainkan masalah kedaulatan dan penegakan hukum.
“Kemandirian bangsa lebih penting daripada kehilangan pekerjaan segelintir orang. Tidak bisa diterima jika ada pihak yang melawan hukum, mengabaikan konstitusi, dan meremehkan martabat serta kedaulatan negara,” kata Oli dikutip dari laman The Economic Times.
Tidak semua platform terkena dampak larangan. Beberapa aplikasi masih beroperasi karena telah memenuhi aturan registrasi, seperti halnya Viber, TikTok, Wetalk, hingga Nimbuzz.
Sementara itu, Telegram dan Global Diary sedang dalam proses pendaftaran dan berpotensi segera kembali tersedia secara resmi.
Pemerintah berdalih sudah sejak lama meminta perusahaan media sosial mendirikan entitas hukum di Nepal. Namun, kritik menyebut pemblokiran ini terlalu tergesa-gesa, apalagi rancangan undang-undang yang menjadi dasar kebijakan Operation, Use, and Regulation of Social Media in Nepal belum disahkan oleh parlemen.
Sebelumnya, Nepal diguncang gelombang protes besar yang menyebabkan belasan orang tewas dan memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur dari jabatannya.
Aksi ini dipicu protes pemblokiran media sosial, namun itu hanya sebagai pemicu. Alasan utama gelombang protes ini mirip dengan demonstrasi besar di Indonesia beberapa waktu lalu, yakni ketidakpuasan terhadap pemerintah dan maraknya korupsi di Nepal.
Pemerintah Nepal pekan lalu memutuskan memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Alasannya, untuk menekan penyalahgunaan platform digital seperti penyebaran ujaran kebencian, hoaks, hingga kejahatan siber. Namun, kebijakan itu justru menyulut kemarahan publik, khususnya generasi muda.
Sekitar 90% dari 30 juta penduduk Nepal terhubung dengan internet, sehingga pemblokiran tersebut dinilai membatasi ruang berekspresi dan menambah daftar panjang kekecewaan publik atas maraknya korupsi serta terbatasnya lapangan kerja.
Kritikus menilai kebijakan itu bukan sekadar soal regulasi, melainkan upaya membungkam kampanye antikorupsi yang kian menguat. Walau larangan tersebut dicabut pada Senin malam, amarah massa terlanjur meledak.
Senin lalu, bentrokan pecah di Kathmandu dan sejumlah kota lain. Polisi menembakkan gas air mata, meriam air, hingga peluru karet untuk membubarkan ribuan pengunjuk rasa. Sedikitnya 19 orang tewas dalam satu hari, dan jumlah korban jiwa meningkat menjadi 22 orang pada Selasa. Sejumlah demonstran berhasil menembus pagar gedung parlemen, memaksa aparat memberlakukan jam malam di sekitar pusat pemerintahan.
Gelombang aksi tak berhenti. Selasa, massa membakar gedung parlemen di Kathmandu, markas partai politik, serta rumah beberapa tokoh, termasuk mantan perdana menteri Sher Bahadur Deuba. Laporan menyebutkan tiga orang tambahan tewas dan puluhan lainnya terluka. Rumah sakit kewalahan menangani korban dengan luka tembak dan cedera akibat peluru karet.
Panglima Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, menyatakan bahwa demonstran telah melakukan penjarahan dan pembakaran, serta memperingatkan bahwa semua institusi keamanan, termasuk militer, siap turun tangan penuh jika kerusuhan berlanjut.
Meski begitu, ia juga menyerukan dialog dengan para pengunjuk rasa sebagai jalan menuju penyelesaian politik atas krisis terburuk Nepal dalam beberapa dekade terakhir.
Pemblokiran Medsos Bukan Isu Utama
Kerusuhan besar di Nepal tidak semata-mata dipicu oleh pemblokiran media sosial. Melansir India Times, salah satu unggahan panjang di platform Reddit yang ditulis oleh seorang warga Nepal mengungkap bahwa larangan itu hanyalah pemicu dari ketidakpuasan yang jauh lebih dalam atas praktik korupsi, nepotisme, dan jurang ketidaksetaraan ekonomi.
Menurut unggahan tersebut, pemerintah beralasan bahwa pembatasan akses berkaitan dengan masalah pajak dan registrasi. Namun, dugaan sebenarnya adalah upaya penyensoran, yakni memberi ruang bagi pemerintah untuk menghapus kritik di dunia maya sekaligus menjerat para pengkritik dengan hukuman penjara.
