Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

2025, Banggar DPR Wanti-Wanti Pelemahanan Ekonomi China hingga Deindustrialisasi

2025, Banggar DPR Wanti-Wanti Pelemahanan Ekonomi China hingga Deindustrialisasi

Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Badan Angggaran DPR Said Abdullah mewanti-wanti pemerintah agar memanfaatkan tantangan ekonomi pada 2025 menjadi peluang, seperti pelemahan perekonomian China hingga gejala diindustrialisasi dini.

Said mencontohkan salah satu tantangan terbesar sepanjang tahun ini ada pelemahanan perekonomian China yang merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.

“Tiongkok dihadapkan perang ekonomi secara multifront [dari banyak sisi], perang tarif dengan AS [Amerika Serikat] dan Uni Eropa,” ujar Said dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025).

Uni Eropa, sambungnya, telah memberlakukan bea masuk 43% untuk mobil listrik dari China. Begitu juga presiden terpilih AS Donald Trump yang mengancam kenaikan bea masuk produk-produk China.

Said menilai jika perekonomian China makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul maka dampak negatifnya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke Negeri Panda tersebut. Oleh sebab itu, dia meyakini pemerintah perlu mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke China yang menurun.

“Bila Indonesia bisa menggantikan produk-produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka peluang ekspor Indonesia akan besar. Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi ini sebagai peluang emas ke depan,” katanya.

Apalagi, elite PDI Perjuangan (PDIP) ini juga meningkatkan bahwa perang dagang antara China dan negara-negara Barat juga bisa berdampak negatif ke kurs rupiah. Said mengingatkan pentingnya diplomasi perdagangan internasional dan pengaturan lebih ketat lagi atas devisa hasil ekspor.

Tidak hanya dari eksternal, dia mengingatkan tantangan perekonomian dari dalam negeri juga tak kalah pelik. Said mengingatkan terjadi penurunan jumlah kelas menengah dan pelemahanan konsumsi rumah tangga. 

Dia pun mendorong agar pemerintah lebih menggerakkan UMKM yang banyak menyerap tenaga kerja. Menurutnya, pemerintah harus perlu memastikan pelaku UMKM masuk ke dalam rantai pasok program makan bergizi gratis. 

Sejalan dengan itu, industri manufaktur juga harus dibangkitkan kembali. Said mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 21,28% pada 2014, namun menyusut menjadi 18,67% pada 2023.

“Peluang yang bisa ditempuh oleh pemerintah hanya dengan perluasan program hilirisasi, yang saat ini masih di sektor nikel. Perluasan hilirisasi bisa merambah ke bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok global,” ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Said menegaskan pentingnya perbaikan angka Incremental Output Rasio (ICOR) Indonesia yang masih tertahan di angka 6. Padahal, lanjutnya, berbagai infrastuktur fisik sudah banyak dibangun selama 10 tahun terakhir.

Masalahnya, ungkap Said, praktik korupsi dan ketidakefisienan birokrasi masih menjadi permasalahan. Oleh sebab itu, dia meyakini ICOR Indonesia bisa turun hanya dengan pemberantasan korupsi dan permudah iklim berusaha.

“Dengan ICOR yang rendah maka produk ekspor Indonesia bisa berdaya saing di pasar global,” tutup Said.