Kendati begitu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pengadaan proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Lantaran proses pemilahan sampah agar bisa diproses menjadi pembakaran memakan ongkos besar.
“Jadi sampah dari rumah tangganya aja itu enggak dipisah, antara sampah yang bisa didaur ulang, sampah yang bisa diproses menjadi pembakaran. Jadi kalau ada sampah basah, dia tercampur dengan limbahnya baterai, itu bisa rusak persis pembangkitnya,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Selanjutnya, ia menyebut biaya instalasi pembangkit listrik hijau lain seperti dari tenaga surya (PLTS), mikrohidro (PLTMH), hingga angin (PLTA) jauh lebih terjangkau dibanding PLTSa.
“Jadi ini kayaknya rezimnya bukan rezim waste to energy untuk energy transition, tapi untuk pemilahan sampahnya aja, ditambah-tambahin energi gitu kan. Karena dollar per kw-nya itu enggak masuk yang waste to energy,” ungkap dia.
“Waste to energy dari sampah hasil limbah pertanian, itu saja bisa sampai USD 2.000 per kilowatt. Kalau misalnya pakai panel surya itu bisa di bawah USD 800 per kilowatt, angin itu sekitar USD 1.000 per kilowatt. Ini malah masuk ke sektor yang mahal,” bebernya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5316912/original/074983800_1755255437-Menteri_Pangan_Zulkifli_Hasan.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)