TRIBUNNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi Korea Selatan secara resmi memakzulkan Presiden Yoon Suk Yeol pada Jumat (4/4/2025).
Putusan pemakzulan Yoon Suk Yeol dibacakan langsung oleh Penjabat Ketua MK, Moon Hyung-bae.
Delapan hakim MK dengan suara bulat mengesahkan pemakzulan yang sebelumnya telah disetujui Majelis Nasional pada Desember 2024.
Putusan ini langsung berlaku dan memaksa Korea Selatan mengadakan pemilihan presiden baru dalam waktu 60 hari.
Dilansir Yonhap dan AFP, Yoon Suk Yeol dimakzulkan karena dianggap melanggar Konstitusi dan hukum, setelah ia mengumumkan status darurat militer pada 3 Desember 2024.
Tak hanya itu, Yoon juga mengerahkan pasukan ke Majelis Nasional guna menghentikan penolakan terhadap kebijakannya waktu itu.
Ia juga memerintahkan penangkapan terhadap sejumlah politisi.
Mahkamah Konstitusi menyatakan tindakan Yoon sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Keputusan tersebut dinilai sebagai bentuk “pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.”
“Mengingat dampak negatif yang serius dan konsekuensi luas dari pelanggaran konstitusional terdakwa, kami memberhentikan Presiden Yoon Suk Yeol dari jabatannya,” kata Moon Hyung-bae.
MK menilai Yoon menggunakan kekuatan militer untuk tujuan politik, merusak kenetralan angkatan bersenjata, dan menimbulkan ancaman serius terhadap stabilitas nasional.
Buntut dari pemakzulan ini, Yoon kehilangan berbagai hak istimewa sebagai mantan presiden.
Ia tidak lagi berhak atas uang pensiun yang besarannya mencapai 95 persen dari gaji presiden.
Yoon pun tidak mendapat staf atau asisten resmi.
Bahkan Yoon Suk Yeol kehilangan hak untuk dimakamkan di Pemakaman Nasional Seoul.
Yoon juga harus mengosongkan kediaman resmi di Hannam-dong, meski belum ada batas waktu pasti kapan ia akan pindah.
Ia diperkirakan akan kembali ke rumah pribadinya di Distrik Seocho, Seoul.
Meski begitu, Yoon masih akan mendapat pengamanan dari negara berdasarkan Undang-undang tentang Perlakuan Terhormat kepada Mantan Presiden.
Perlindungan ini juga berlaku bagi istrinya, Kim Keon Hee, selama lima tahun dan dapat diperpanjang hingga 10 tahun jika diperlukan, The Korea Herald melaporkan.
Namun, jika Yoon ditangkap atas kasus kriminal, hak ini bisa dicabut.
Yoon kemungkinan akan menghadapi penyelidikan pidana, termasuk tuduhan pengkhianatan serta dugaan keterlibatan dalam skandal yang melibatkan ibu negara dan sejumlah pejabat lain.
Pasca putusan MK, reaksi masyarakat Korea Selatan terbelah.
Para pendemo anti-Yoon bersorak dan berpelukan, sementara para pendukungnya menangis dan mengumpat.
Dua pendukung bahkan dilaporkan tewas akibat membakar diri sebagai bentuk protes.
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Prancis, Rusia, dan China telah mengeluarkan peringatan kepada warganya untuk menghindari lokasi demonstrasi di Korea Selatan.
Melalui pengacaranya, Yoon menyampaikan permintaan maaf beberapa jam setelah putusan dibacakan.
“Saya sangat menyesal tidak dapat memenuhi harapan dan ekspektasi Anda,” ujar Yoon.
“Merupakan kehormatan terbesar dalam hidup saya untuk mengabdi kepada negara kita,” lanjutnya.
“Saya sangat berterima kasih atas dukungan Anda yang tak tergoyahkan, bahkan ketika saya gagal,” klaimnya.
Situasi Normal Pascapemakzulan
Pemerintah Korea Selatan memastikan pemerintahan tetap berjalan normal pasca pemakzulan.
Juru Bicara Pemerintah, Yu In Chon, menyatakan seluruh fungsi negara tetap berjalan sesuai konstitusi.
“Kami berkomitmen untuk administrasi urusan negara yang stabil,” ujar Yu, yang juga menjabat Menteri Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata, dikutip dari CNBC.
Pemerintah juga akan memperkuat keamanan nasional, sistem tanggap bencana, dan menanggapi masalah perdagangan serta diplomasi yang sempat tertunda.
Tujuannya, untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan publik terhadap ekonomi nasional.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)