Bisnis.com, JAKARTA — Surat Berharga Negara/SBN milik pemerintah tampaknya harus bersaing dengan imbal hasil atau yield dari surat utang pemerintah AS atau US Treasury dalam melakukan pembiayaan APBN 2025 yang ditargetkan senilai Rp775,9 triliun.
Pasalnya, likuiditas yang masih ketat diiringi dengan suku bunga yang masih tinggi membuat pemerintah mengimbanginya dengan imbal hasil yang tinggi agar SBN tetap dilirik.
Sementara defisit fiskal AS yang diprediksi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo akan tembus 7,7% dari PDB, mengharuskan pemerintahnya menerbitkan US Treasury lebih banyak. Salah satunya dengan cara mengerek naik yield-nya.
Belum memasuki 2025, imbal hasil SBN tenor 10 tahun, per 19 Desember 2024 meningkat ke 7,07% dari pekan sebelumnya di level 6,95%. Hal tersebut sejalan dengan tingginya yield UST tenor 10 tahun yang juga mengalami kenaikan dari 4,328% menjadi 4,562%.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet melihat memang akan ada potensi perebutan dana pada tahun depan yang cukup ketat. Terlebih dengan posisi risk off yang masih akan terjadi secara periodik, merespon perkembangan perekonomian AS.
Sementara tingkat imbal hasil yang relatif tinggi akan memberikan tekanan pada belanja negara mengingat besarnya belanja bunga utang yang harus dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya sangat dipengaruhi oleh besarnya portofolio SBN.
Untuk tahun depan saja, pemerintah perlu merogoh Rp552,9 triliun atau 15,27% dari pagu belanja 2025 yang senilai Rp3.621,3 triliun, untuk membayar bunga utang—belum termasuk pembayaran utang pokok sekitar Rp800 triliun.
Yusuf berpandangan implikasi imbal hasil ke depan terhadap belanja akan moderat karena tidak akan mempengaruhi belanja pemerintah secara langsung. Justru dinamika rupiah yang tengah melemah akan menjadi pengaruh utama belanja pemerintah.
“Implikasi akan relatif moderat. Artinya pemerintah akan tetap mengeksekusi rancangan blanja sambil berkorrdinasi degan BI untuk melihat bagaimana dinamika perekonomian AS akan membrikan dampak terutama ke aliran dana dan juga dinamika nilai tukar rupiah,” ujarnya, Kamis (26/12/2024).
Sementara Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro memandang pergerakan yield yang semakin tinggi memang tidak terhindarkan dalam situasi saat ini.
Meski demikian, perlu diwaspadai dalam tahun-tahun ke depan kala pemerintah harus membayar imbal hasil tersebut.
“Jadi secara buyer itu memang satu-satunya cara untuk menarik pembeli, terutama untuk surat utang adalah memberikan imbal hasil yang lebih tinggi,” tuturnya, Kamis (26/12/2024).
Mengambil contoh dalam penerbitan Sukuk Global tenor 10 tahun pada November lalu dengan yield 5,25%, pemerintah perlu memperhitungkan pelemahan rupiah. Misalnya dalam 10 tahun terakhir, rupiah terdepresiasi 6%—7%.
Artinya, imbal hasil yang pemerintah bayarkan bukan sesuai yield awal, melainkan ditambah dengan depresiasi rupiah karena diterbitkan dalam bentuk dolar AS, misalnya.
“Berarti ya efektif borrowing cost-nya bagi pemerintah itu bisa di atas 10%-11% jika memperhitungkan depresiasi dari nilai tukar,” lanjutnya.
Di sisi lain, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual melilhat hal tersebut memang akan menambah beban bunga utang, namun kenaikan yield diperlukan untuk menjaga minat investor terhadap SBN ketimbang UST.
“Sehingga belanja negara perlu lebih efisien dan memberi multiplier tinggi konsekuensi logisnya,” ujarnya.
Hinggu Desember 2024, pemerintah telah melakukan pembiayaan di awal atau prefunding APBN 2025 senilai Rp80,7 triliun. Lebih besar dari realisasi prefunding APBN 2024 yang senilai Rp39,1 triliun.
Terdiri dari Sukuk Global senilai US$2,75 miliar atau setara Rp43,56 triliun dan hasil lelang SBN selama Desember yang menghasilkan Rp37,1 triliun.
Dengan demikian, pemerintah perlu ‘bergulat’ untuk merealisasikan pembiayaan anggaran 2025 untuk menutupi defisit APBN milik Prabowo Subianto.