Yassierli Blak-blakan soal 4 Tantangan Bangun Tenaga Kerja Hijau di Indonesia

Yassierli Blak-blakan soal 4 Tantangan Bangun Tenaga Kerja Hijau di Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyoroti empat tantangan utama yang harus diselesaikan Indonesia untuk membangun pekerjaan dan keterampilan ramah lingkungan di tengah percepatan transisi energi.

Menurutnya, sektor energi hijau akan menjadi sumber pertumbuhan tenaga kerja baru dalam beberapa tahun mendatang, namun membutuhkan penyesuaian besar dalam sistem pelatihan, sertifikasi, dan pemerataan akses.

Berbicara dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC), Sabtu (11/10/2025), Yassierli mengungkapkan bahwa menurut perkiraan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jumlah pekerjaan ramah lingkungan di sektor energi diproyeksikan mencapai lebih dari dua juta posisi pada 2029 atau sekitar enam kali lipat dibandingkan 2022.

“Artinya, akan ada enam kali lebih banyak dibandingkan tahun 2022. Ini peluang besar bagi kita untuk tidak hanya menciptakan pekerjaan yang lebih baik, tetapi juga mengurangi pengangguran di Indonesia,” ujarnya.

Namun, Yassierli menegaskan, peluang besar tersebut datang bersama empat tantangan utama yang perlu segera dijawab oleh pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan.

Pertama, dia menyoroti ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kurikulum pelatihan kejuruan, terutama di bidang energi terbarukan, serta minimnya skema sertifikasi nasional (SKKNI) yang relevan untuk pekerjaan hijau.

“Tantangan pertama adalah menyelaraskan kurikulum pelatihan kejuruan dengan program transisi energi,” katanya.

Kedua, menurut Yassierli, terdapat kesenjangan regional yang besar antara Pulau Jawa dan kawasan lain seperti Kalimantan dan Sulawesi. Padahal, sebagian besar potensi energi terbarukan justru berada di luar Jawa.

“Sebagian besar pusat pelatihan kejuruan dan universitas masih terkonsentrasi di Jawa. Ini menjadi pekerjaan rumah dalam membangun keterampilan hijau yang merata secara regional,” ujarnya.

Ketiga, dia menyoroti fasilitas dan tenaga instruktur pelatihan yang belum memadai. Banyak peralatan di pusat pelatihan kejuruan (BLK) yang sudah ketinggalan zaman, sementara sebagian instruktur belum memiliki pengalaman langsung di industri energi hijau.

“Teknologi ramah lingkungan akan menjadi hal baru bagi mereka, sehingga kita juga perlu program training for trainers,” ungkapnya.

Keempat, tantangan terakhir berkaitan dengan produktivitas industri. Menurutnya, inisiatif produktivitas yang berjalan saat ini belum cukup mendorong permintaan terhadap pekerjaan hijau.

“Namun kabar baiknya, kami bekerja sama dengan Asian Productivity Organization (APO) untuk mengembangkan skema pelatihan dan kerangka kerja produktivitas ramah lingkungan,” ujarnya.

Yassierli menjelaskan bahwa Indonesia kini tengah membangun dasbor dan kalkulator produktivitas hijau untuk mengukur kontribusi sektor industri terhadap efisiensi energi dan pengurangan emisi.

Menurutnya, langkah ini diharapkan menjadi landasan bagi perencanaan tenaga kerja hijau nasional dalam mendukung komitmen Indonesia mencapai net zero emission 2060.

“Kita melihat transisi hijau bukan ancaman, tapi peluang besar untuk memperkuat ekonomi, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” pungkas Yassierli.