Jakarta: Climate Policy Initiative (CPI) meluncurkan kajian terbarunya berupa Dasbor Pembiayaan
Pembangkit Listrik di Indonesia. Dasbor interaktif ini memetakan seluruh investasi untuk
pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) vs bahan bakar fosil di Indonesia, serta
pendanaan yang mengalir melalui PLN.
Dikembangkan dengan metode triangulasi berupa konsolidasi dataset dari berbagai sumber
resmi, dasbor ini menjawab permasalahan akses dan transparansi data investasi sektor
ketenagalistrikan di Indonesia.
Fitur interaktif dasbor ini juga memudahkan dalam melihat arus investasi berdasarkan sumber, penggunaan tematik, dan alokasi sektoral sehingga pemangku kepentingan pemerintah dan industri terkait dapat mengidentifikasi titik masuk investasi, kesenjangan pembiayaan, peluang investasi baru, serta perencanaan strategis terkait agenda transisi energi Indonesia menuju emisi nol bersih.
Rata-rata investasi untuk EBT per tahun (2019-2021) adalah sebesar USD 2,2 miliar, terpaut jauh dari kebutuhan pendanaan sebesar USD 9,1 miliar per tahun hingga tahun 2030 untuk mencapai target iklim Indonesia seperti tercantum pada dokumen ENDC Indonesia.
Investasi yang mengalir ke EBT juga masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata investasi untuk bahan bakar fosil sebesar sebesar USD 3,7 miliar per tahun. Sementara, 94% pendanaan bahan bakar fosil berasal dari investor swasta (84% asing, 10% domestik).
“Ini menunjukkan tren mengkhawatirkan pelonjakan investasi fosil dari swasta, terutama modal asing,” kata Direktur CPI Indonesia Tiza Mafira.
Menurutnya, membandingkan efisiensi keseluruhan portfolio energi PLN, biaya operasional pembangkit istrik berbahan bakar fosil per unit produksi cukup tinggi, antara lain diesel (Rp. 2211 per Kwh), gas (Rp1402 per Kwh), dan batu bara (Rp526 per Kwh).
PLN katanya berpeluang menurunkan biaya operasional per unit produksi tenaga surya menjadi Rp296 per Kwh dengan meningkatkan faktor kapasitas pembangkit tenaga suryanya menjadi empat kali lebih tinggi, sehingga setara dengan rata-rata faktor kapasitas pembangkit tenaga surya di Asia Tenggara.
Meskipun ada gap yang signifikan antara realisasi nilai investasi EBT dan komitmen iklim
Indonesia, temuan kunci tersebut juga menunjukkan peluang strategis mengalihkan arus
investasi menuju perekonomian berkelanjutan dan rendah karbon bagi Indonesia.
Ia melanjutkan Indonesia memerlukan visibilitas mengenai apakah kebijakan energi saat ini sudah cukup mempercepat investasi hijau. Data menunjukkan bahwa total investasi pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil hampir dua kali lipat dari total investasi pada pembangkit listrik EBT.
“Ada peluang yang sangat besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan arus investasi
tersebut, terutama dari lembaga keuangan swasta internasional sebagai kontributor terbesar.
Dengan memanfaatkan data investasi yang komprehensif di dasbor kami, kebijakan dan
investasi dapat dioptimalkan untuk membangun masa depan yang aman, kompetitif, dan rendah
karbon bagi Indonesia,” tutupnya.
Jakarta: Climate Policy Initiative (CPI) meluncurkan kajian terbarunya berupa Dasbor Pembiayaan
Pembangkit Listrik di Indonesia. Dasbor interaktif ini memetakan seluruh investasi untuk
pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) vs bahan bakar fosil di Indonesia, serta
pendanaan yang mengalir melalui PLN.
Dikembangkan dengan metode triangulasi berupa konsolidasi dataset dari berbagai sumber
resmi, dasbor ini menjawab permasalahan akses dan transparansi data investasi sektor
ketenagalistrikan di Indonesia.
Fitur interaktif dasbor ini juga memudahkan dalam melihat arus investasi berdasarkan sumber, penggunaan tematik, dan alokasi sektoral sehingga pemangku kepentingan pemerintah dan industri terkait dapat mengidentifikasi titik masuk investasi, kesenjangan pembiayaan, peluang investasi baru, serta perencanaan strategis terkait agenda transisi energi Indonesia menuju emisi nol bersih.
Rata-rata investasi untuk EBT per tahun (2019-2021) adalah sebesar USD 2,2 miliar, terpaut jauh dari kebutuhan pendanaan sebesar USD 9,1 miliar per tahun hingga tahun 2030 untuk mencapai target iklim Indonesia seperti tercantum pada dokumen ENDC Indonesia.
Investasi yang mengalir ke EBT juga masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata investasi untuk bahan bakar fosil sebesar sebesar USD 3,7 miliar per tahun. Sementara, 94% pendanaan bahan bakar fosil berasal dari investor swasta (84% asing, 10% domestik).
“Ini menunjukkan tren mengkhawatirkan pelonjakan investasi fosil dari swasta, terutama modal asing,” kata Direktur CPI Indonesia Tiza Mafira.
Menurutnya, membandingkan efisiensi keseluruhan portfolio energi PLN, biaya operasional pembangkit istrik berbahan bakar fosil per unit produksi cukup tinggi, antara lain diesel (Rp. 2211 per Kwh), gas (Rp1402 per Kwh), dan batu bara (Rp526 per Kwh).
PLN katanya berpeluang menurunkan biaya operasional per unit produksi tenaga surya menjadi Rp296 per Kwh dengan meningkatkan faktor kapasitas pembangkit tenaga suryanya menjadi empat kali lebih tinggi, sehingga setara dengan rata-rata faktor kapasitas pembangkit tenaga surya di Asia Tenggara.
Meskipun ada gap yang signifikan antara realisasi nilai investasi EBT dan komitmen iklim
Indonesia, temuan kunci tersebut juga menunjukkan peluang strategis mengalihkan arus
investasi menuju perekonomian berkelanjutan dan rendah karbon bagi Indonesia.
Ia melanjutkan Indonesia memerlukan visibilitas mengenai apakah kebijakan energi saat ini sudah cukup mempercepat investasi hijau. Data menunjukkan bahwa total investasi pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil hampir dua kali lipat dari total investasi pada pembangkit listrik EBT.
“Ada peluang yang sangat besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan arus investasi
tersebut, terutama dari lembaga keuangan swasta internasional sebagai kontributor terbesar.
Dengan memanfaatkan data investasi yang komprehensif di dasbor kami, kebijakan dan
investasi dapat dioptimalkan untuk membangun masa depan yang aman, kompetitif, dan rendah
karbon bagi Indonesia,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(WHS)