“Wisata Jokowi”, Bentuk “Soft Power” Jokowi meski Sudah Tak Punya Jabatan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pakar komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Verdy Firmantoro mengatakan, fenomena ”
Wisata Jokowi
” yang muncul baru-baru ini menunjukkan bahwa politik tidak selalu bersifat serius dan formal.
Fenomena tersebut membuat
Joko Widodo
(Jokowi) tetap bisa eksis di tengah-tengah masyarakat meski dirinya sudah tak lagi menjabat sebagai Presiden RI.
“Politik juga bisa hadir dalam bentuk budaya populer, seperti kunjungan, foto-foto, dan lain sebagainya. Jokowi pasca-presidensi tetap mempertahankan citra politiknya sebagai bentuk
soft power
. Meski tak lagi punya jabatan formal presiden, tapi kekuatan simboliknya masih menarik perhatian publik,” ujar Verdy kepada
Kompas.com
, Jumat (4/4/2025).
“Ini bukan wisata dalam arti literal, tapi wisata simbolik. Warga yang berkunjung merasa ‘terhubung’ secara emosional dengan figur Jokowi,” sambungnya.
Verdy menyoroti bahwa diksi “Wisata Jokowi” justru dikonstruksi oleh pemerintah.
Menurut Verdy, pemerintah ingin menunjukkan bahwa hubungan warga dengan Jokowi tetap positif di tengah dinamika dan konstelasi politik yang terjadi saat ini.
“Selain itu, Solo sebagai kota asal Jokowi, mencoba mengkapitalisasi simbolisasi ini memanfaatkan popularitas Jokowi. “Wisata Jokowi’ semacam menempatkan ketokohan Jokowi sebagai
city
branding
menjadi identitas kota sekaligus mendulang keuntungan dari arus kunjungan,” papar Verdy.
Meski demikian, Verdy menegaskan bahwa fenomena mantan pemimpin yang masih memiliki daya tarik publik bukanlah hal yang baru.
Di beberapa negara, mantan presiden atau perdana menteri kerap menjadi tokoh yang dikagumi dan dihormati.
Namun, ia mencatat bahwa konsep ‘wisata’ yang secara eksplisit merujuk pada kunjungan ke kediaman pribadi kemungkinan memiliki kekhasan tersendiri di Indonesia.
“Namun saya memandang, jika “Wisata Jokowi” hanya dijadikan sekadar sarana berkunjung ke kediaman, bertemu Jokowi, bisa berfoto ‘
selfie-selfie
‘ bersama mantan presiden, hal itu lebih cenderung bermuatan
entertain
daripada edukasi,” katanya.
Karena itu, Verdy mendorong pemerintah agar tidak berhenti pada konteks “Wisata Jokowi” semata, melainkan mengarah pada institusi kepresidenan secara lebih luas.
Dia menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membangun pusat pengetahuan kepresidenan sebagai
legacy
pengetahuan dan kebijakan dari seluruh presiden Indonesia.
“Ini bukan sekadar tempat wisata, tetapi pusat edukasi dan dokumentasi sejarah kepemimpinan nasional, agar generasi mendatang dapat belajar dari perjalanan para pemimpin sebelumnya. Dengan hal tersebut, presiden tidak hanya jadi objek kunjungan, tetapi juga dapat memproduksi pengetahuan dengan ragam karya dan warisan kebijakan yang pernah dibuat,” imbuh Verdy.
Diketahui, kehadiran Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di rumahnya yang terletak di Jl. Kutai No. 1, Sumber, Solo, telah menarik perhatian wisatawan, terutama selama momen Lebaran tahun ini.
Setiap harinya, lebih dari 1.000 orang datang untuk bersalaman dan berfoto dengan Jokowi.
Berdasarkan pantauan
Kompas.com
dari 2 hingga 4 April 2025, antrean di depan rumah Jokowi terus mengular.
Ajudan Jokowi, Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah, menyatakan bahwa sejak hari kedua Lebaran, pengunjung dari luar Soloraya mulai berdatangan.
“Jumlahnya mencapai 1.500-an lebih,” ujarnya.
Syarif menjelaskan bahwa pada hari pertama Lebaran, pengunjung mayoritas berasal dari warga sekitar Sumber.
“Mulai hari Lebaran pertama, menurut pemantauan saya, banyak dari warga tetangga terutama di sekeliling Sumber dan sekitarnya,” kata dia saat diwawancarai.
Pada hari ketiga Lebaran, jumlah pengunjung semakin meningkat.
“Karena mungkin pemikiran saya kemarin sudah bersama keluarga dan sanak saudara, sehingga banyak masyarakat yang ingin berkunjung ke rumah Pak Jokowi untuk bersalaman dan bersilaturahmi,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.