Setiap memasuki bulan suci Ramadan, umat muslim sering mendengar nasihat ustaz, dai, atau penceramah, bahwa orang yang berbahagia menyambut datangnya Ramadan, Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka. Nasihat ini selalu dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. Nasihat ini menekankan cukup dengan berbahagia menyambut Ramadan, kunci surga sudah terpegang dan pintu neraka ditutup rapat-rapat.
Utsman al-Khubawi menyampaikan nasihat tersebut sebagai sabda Nabi SAB dalam kitabnya Durratun Nashihin. Dalam kitabnya, al-Khubawi menulis:
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ
“Siapa yang berbahagia atas datangnya Ramadan, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka”.
Apa benar ungkapan ini bersumber dari Rasulullah SAW yang dikenal dengan hadis atau sunah?
Banyak orang menuding Durratun Nashihin adalah kitab palsu karena memuat banyak hadis palsu. Tidak hanya itu, kitab ini juga disebut sebagai salah satu kitab yang menjadi pangkal cerita-cerita fiktif yang beredar di masyarakat. Informasi ini sangat berharga umat muslim tidak langsung menganggap ungkapan tersebut adalah sabda Rasulullah SAW.
Dalam kajian hadis, ada dua pembahasan penting dan mendasar untuk menguji kebenaran suatu hadis, yakni teks dan narator teks (dalam ilmu hadis dikenal dengan kajian sanad dan matan). Pertama, kajian sanad adalah tentang siapa saja yang menyampaikan teks hadis tersebut. Benarkah hadis tersebut bersumber dari Rasulullah SAW? Apakah orang yang menyampaikan itu dapat dipercaya (tsiqah)? Bagaimana sikap, perilaku, dan akhlaknya?
Kedua, kajian matan tentang redaksi atau ungkapan yang terdapat dalam suatu hadis. Apakah lafal hadis itu bermasalah atau tidak? Apakah makna hadis tersebut selaras dengan hadis yang memang sudah diakui kebenarannya atau tidak?
Analisis Sanad
Setelah ditelusuri di dalam kitab-kitab hadis, tidak ada satu pun kitab hadis yang menyebutkan hadis di atas. Seperti disampaikan pada awal tulisan, hanya al-Khubawi dalam Durratun Nashihin yang menuliskan dan menisbahkannya kepada Rasulullah SAW. Tidak adanya hadis tersebut dalam kitab-kitab hadis adalah isyarat pertama tentang kepalsuan hadis tersebut.
Kedua, al-Khubawi tidak mencantumkan rangkaian sanad atau perawi hadisnya. Tidak adanya sanad dalam hadis tersebut semakin memperkuat kepalsuan hadis tersebut. Sanad adalah unsur terpenting dalam hadis. Sebuah ungkapan tidak bisa disebut hadis jika mata rantai sanadnya tidak sampai kepada Rasulullah SAW, apalagi tidak ada sanadnya.
Dalam kajian ilmu hadis, model hadis seperti ini masuk ke dalam kategori hadis palsu yang dikenal dengan istilah la ashla lahu, laisa lahu ashlun, la sanada lahu, atau laisa lahu sanad, yang artinya tidak ada sumber dan asalnya. Dengan kata lain, istilah ini berarti perkataan palsu karena Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikannya. Maka dari itu, berdasarkan kajian sanadnya, hadis di atas palsu dan tidak bisa diamalkan.
Analisis Matan
Setelah dipastikan kepalsuan hadis tersebut secara sanad, selanjutnya hadis tersebut akan diuji redaksi atau ungkapannya. Dalam kajian ilmu hadis, indikasi kepalsuan hadis dapat diteliti melalui lafal dan maknanya, apakah meragukan atau tidak? Apakah bermasalah atau tidak? Berikut akan dijelaskan permasalahan hadis tersebut berdasarkan dua indikator hadis palsu secara matan.
Pertama, indikator kepalsuan hadis berdasarkan lafalnya. Kata man fariha (من فرح) di dalam kitab-kitab hadis tidak pernah bersanding dengan kata Ramadan. Akan tetapi hanya bersanding dengan tema berikut:
Tentang kebahagiaan para sahabat saat mereka shalat bersama Rasulullah SAW. Hadis tersebut terdiri dari tiga redaksi berikut:
وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ مَنْ فَرِحَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… (رواه البيهقي في الكبرى )
وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ مَنْ فَرِحَ بِرُؤْيَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… (رواه البيهقي في الكبرى)
وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ مَنْ فَرِحَ بِخُرُوجِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… (رواه مسلم في صحيحه )
Tentang hidup di dunia tidak lepas dari rasa bahagia dan sedih. Namun perlu dicatat bahwa ungkapan ini bukan hadis melainkan ungkapan Abu al-Fath ‘Ali bin Muhammad yang dinukil oleh imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Iman sebagai berikut:
لَا بُدَّ لِلْإِنْسَانِ فِي دُنْيَاهُ مِنْ فَرْحٍ وَغَمٍّ
Tentang rumah surga adalah milik orang yang berbahagia dengan keberadaan anak yatim (redaksi lain anak kecil bukan anak yatim) dan menyukainya. Hamzah bin Yusuf al-Sahmi dalam Mu’jam al-Syuyukh dan Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil fi al-Dhu’afa’ meriwayatkannya dengan redaksi sebagai berikut:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ دَارًا يُقَالُ لَهَا الفَرْحُ لَا يَدْخُلُهَا إِلَّا مَنْ فَرَّحَ يَتَامَى الْمُؤْمِنِيْنَ
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ دَارًا يُقَالُ لَهَا دَارُ الفَرْحِ لَا يَدْخُلُهَا إِلَّا مَنْ فَرَّحَ الصِّبْيَانَ
Kisah tentang sudah dekatnya ajal Rasulullah SAW dan akan disusul putrinya sayidah Fatimah. Sayidah Fatimah sampai menangis karena begitu sedihnya. Namun seketika, Rasulullah SAW membuat sayidah Fatimah tertawa lebar dan bertanya, wahai Fatimah maukah engkau menjadi pemimpin istri-istri orang-orang beriman dan pemimpin kaum perempuan? Penasaran tentang tangis sedih dan tawa bahagia sayidah Fatimah, sayidah Aisyah lantas berkata,“Aku tidak pernah melihat kesedihan yang lebih dekat dengan kebahagian seperti hari ini.” Dalam riwayat sahih Imam Muslim dan Abu Ya’la dalam musnadnya, Sayyidah Aisyah berkata:
مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ حُزْنًا أَقْرَبَ مِنْ فَرَحٍ
Dari sinilah bisa diambil kesimpulan bahwa hadis tentang hanya bahagia dengan datangnya bulan suci Ramadan akan mendapatkan balasan dengan diharamkannya neraka bagi orang bahagia tersebut adalah palsu. Selain berdasarkan alasan sanad dan matan yang memang sudah mengindikasikan kepalsuan hadis tersebut, lebih penting lagi ialah hadis ini justru disampaikan dan dikutip dari mimbar-mimbar masjid. Layakkah mengobral nama Rasulullah, sementara apa yang dinisbahkan kepada Rasulullah tidak pernah terucap?
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).
