Kata war dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan perang, berperang, peperangan. Istilah war dalam bahasa gaul sosial media di Indonesia sering diartikan dengan merebutkan sesuatu dalam transaksi online. Adapun takjil berasal dari Bahasa Arab akar kata dari ‘ajjala-yu’ajjilu-ta’jīlan yang berarti cepat-cepat, bergegas, mempercepat, mendesak, berlari, bersegera.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata takjil berarti mempercepat dalam berbuka puasa, atau makanan untuk berbuka puasa. Maka dari definisi tersebut war takjil dapat diartikan dengan merebutkan makanan ringan untuk berbuka puasa yang dilakukan ketika sore hari atau menjelang waktu Maghrib.
Ketika bulan Ramadan menjadi kesempatan bagi para pedagang untuk mengais keuntungan sebanyak-banyaknya dengan berjualan beraneka macam jajanan. Mereka berdagang di pinggiran jalan, di pasar dan tempat-tempat umum lainnya. Para pedagang war takjil biasanya menjual makanan minuman siap santap dan siap saji, seperti kolak, bubur, gorengan, es buah, es cendol, es campur dan lain-lain.
Target penjualan mereka seluruh kalangan status sosial, mulai dari para pejabat, budak corporate, hingga orang rumahan atau para ibu rumah tangga. Selain bagi seluruh kalangan status sosial, target market mereka pun tidak memandang ras, suku bahkan agama. Karena umumnya mereka menjual makanan dan minuman yang boleh atau halal dikonsumsi bagi agama apapun.
Sebagaimana yang telah digambarkan terkait target market serta makanan dan minuman yang dijual, maka orang-orang non-Islam pun sering ikut ngewar takjil ini meski tidak berpuasa. Sebab umumnya orang non-Islam pun suka mengonsumsi makanan yang halal karena lebih bersih dan highienis.
Terlebih lagi jam-jam di sore hari adalah waktu orang-orang selesai beraktivitas atau pulang dari kerja. Maka untuk mengobati rasa lelah dan laparnya ketika perjalanan pulang mereka membeli makanan ringan atau takjil untuk sekedar mengganjal perut.
Ribuan warga Kota Malang berwisata sembari berburu makanan tradisional untuk berbuka puasa di pasar takjil Kota Malang, Jawa Timur yang terletak di Jalan Surabaya, Minggu, 9 Maret 2025. – (Beritasatu.com/Didik Fibrianto)
Walaupun dari segi penggunaan bahasa takjil ini dikhususkan untuk umat muslim yang sedang melakukan puasa Ramadan. Karena Negeri Indonesia mayoritas muslim, maka istilah war takjil sering digunakan untuk kalangan umum .
Tren war takjil ini ramai di sosial media jika dilakukan oleh non Islam dengan jokes mengucapkan kalimat syahadat atau login terlebih dahulu sebelum membeli makanan atau minuman ketika war takjil. Tidak jarang pula dari kalangan umat muslim sering kehabisan atau tidak kebagian makanan minuman war takjil untuk berbuka puasa.
Meski demikian, tidak pantas jika umat Islam geram dengan umat non-Islam perihal makanan minuman war takjil yang kehabisan. Karena umumnya tiap-tiap manusia butuh asupan makanan untuk bertahan hidup. Dalam Islam pun tidak begitu detail menjelaskan terkait macam-macam jenis makanan untuk berbuka.
Islam hanya menganjurkan untuk menyegerakan berbuka puasa jika di wilayah tersebut sudah masuk waktu Magrib, agar tidak menunda-nunda untuk berbuka puasa. Menyegerakan berbuka puasa dengan apa saja yang ada, namun dianjurkan atau disunnahkan dengan kurma atau yang manis-manis, jika tidak ada maka dengan air putih. Jadi tidak ada ketentuan khusus terkait makanan atau minuman yang harus ada untuk takjil.
Tren war takjil yang dilakukan oleh seluruh kalangan dan seluruh umat beragama ketika bulan Ramadhan adalah bentuk kerukunan antar umat beragama. Indonesia terkenal negeri yang harmonis, damai walau hidup berdampingan dengan bermacam-macam ras, suku dan agama. Selain bentuk kerukunan antar umat beragama, tren war takjil juga menjadi bentuk toleransi dan saling menghormati dalam momen Ramadhan.
Hidup rukun antarumat beragama yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar budaya atau tradisi saja. Melainkan hal demikian memang sudah diatur dalam al-Qur`an untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat agama lain. Sebagaimana disebutkan dalam surah al-Mumtaḥanah ayat 8.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Diriwayatkan bahwa Aḥmad bin Ḥanbal menceritakan kepada beberapa imam yang lain dari ‘Abdullāh bin Zubair, ia berkata, “Telah datang ke Medinah (dari Mekah) Qutailah binti ‘Abdul ‘Uzzā, bekas istri Abu Bakar sebelum masuk Islam, untuk menemui putrinya Asmā’ binti Abu Bakar dengan membawa berbagai hadiah. Asmā’ enggan menerima hadiah itu dan tidak memperkenankan ibunya memasuki rumahnya.
Kemudian Asmā’ mengutus seseorang kepada ‘Aisyah agar menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan Asmā’ menerima hadiah dan mengizinkan ibunya yang kafir itu tinggal di rumahnya.
Kegiatan berbagi takjil gratis dan buka bersama di Kampus II Universitas Negeri Surabaya (Unesa). – (Beritasatu.com/Agung Dharma Putra)
Allah tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong, dan bantu-membantu dengan orang musyrik selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, tidak mengusir kaum Muslimin dari negeri-negeri mereka, dan tidak pula berteman akrab dengan orang yang hendak mengusir itu.
Ayat ini memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum Muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama mereka bersikap dan ingin bergaul baik, terutama dengan kaum Muslimin.
Seandainya dalam sejarah Islam, terutama pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat, terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, maka tindakan itu semata-mata dilakukan untuk membela diri dari kezaliman dan siksaan yang dilakukan oleh pihak musyrik.
Di Makkah, Rasulullah dan para sahabat disiksa dan dianiaya oleh orang-orang musyrik, sampai mereka terpaksa hijrah ke Madinah. Sesampai di Madinah, mereka pun dimusuhi oleh orang Yahudi yang bersekutu dengan orang-orang musyrik, sekalipun telah dibuat perjanjian damai antara mereka dengan Rasulullah.
Oleh karena itu, Rasulullah terpaksa mengambil tindakan keras terhadap mereka. Demikian pula ketika kaum Muslimin berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, orang-orang kafir di sana telah memancing permusuhan sehingga terjadi peperangan. Jadi ada satu prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang kafir, yaitu boleh mengadakan hubungan baik, selama pihak yang bukan Islam melakukan yang demikian pula.
Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam sikap dan perbuatan kedua belah pihak. Di Indonesia prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain bermaksud memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)
