Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Warga Sukahaji Melawan: Sengketa Lahan, Intimidasi, dan Absennya Negara

Warga Sukahaji Melawan: Sengketa Lahan, Intimidasi, dan Absennya Negara

JABAR EKSPRES  – Hampir dua dekade warga Kelurahan Sukahaji, Kota Bandung, bergelut dengan ancaman penggusuran.

Sengketa lahan yang mereka hadapi bukan sekadar perkara administratif, tetapi juga kisah panjang perlawanan terhadap intimidasi, pemanggilan aparat, dan absennya perlindungan dari negara.

Seorang warga Yayu Retnowati (48), menuturkan, semua bermula pada 2009 ketika seorang pria mengaku sebagai mantan aparat datang dengan dua lembar fotokopi sertifikat tanah. Ia memerintahkan pembongkaran rumah-rumah warga. Namun, warga menolak tunduk. Sejak saat itu, tekanan datang bertubi-tubi.

Pada momen Lebaran tahun lalu, pihak pengembang mencoba meredam keresahan dengan memberikan Rp750 ribu per kepala keluarga. Namun, di balik uang itu terselip upaya pembongkaran paksa yang kembali digagalkan oleh warga. Mereka menuntut transparansi: di mana dokumen resmi yang menguatkan klaim pengembang.

Alih-alih jawaban, intimidasi semakin gencar. Warga dipanggil pihak kepolisian untuk menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Lalu, selebaran ancaman beredar, memberi batas waktu satu bulan bagi warga untuk mengosongkan lahan, kali ini dengan tawaran Rp1 juta per kepala keluarga. Lagi-lagi, warga bertahan.

Hingga saat ini, hampir 100 lebih warga masih bertahan di lahan tersebut. Warga Sukahaji juga dihadapkan pada ultimatum baru: pengosongan lahan selambat-lambatnya 7 April 2025. Keputusan itu dibuat secara sepihak, tanpa ada putusan pengadilan yang sah.

“Sekarang hampir 100 lebih warga yang bertahan. Ada empat RW. Kami sudah kesel dan ingin melalui hukum. Baru kami pakai pengacara. Mudah-mudahan lancar dan dianggap manusia kita ini. Memperjuangkan hak tanah,” jelasnya kepada Jabar Ekspres, belum lama ini.

Yang terjadi berikutnya lebih serius. Sejumlah oknum aparat dan organisasi masyarakat (ormas) turun ke lapangan, disusul pengacara pengembang yang melarang warga membangun kembali rumah mereka. Ketika warga menuntut 82 sertifikat yang diklaim oleh pengembang, hanya 11 lembar fotokopi yang ditunjukkan—itu pun tidak sesuai dengan lokasi asli yang terbakar pada 2018.

*Warga yang Bertahan Pascakebakaran*

Kebakaran besar pada 2018 mengubah segalanya. Rumah-rumah warga habis dilalap api. Saat mereka masih berjuang bertahan di tenda darurat, tiga hari kemudian surat penggusuran justru tiba. “Ini musibah apa penggusuran?” kata Yayu, turut kehilangan tempat tinggalnya.

Merangkum Semua Peristiwa