Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna

Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna

Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Menteri Dalam Negeri (
Wamendagri
)
Bima Arya Sugiarto
mengatakan, tidak ada pemilihan umum (pemilu) yang sempurna di dunia ini. Sehingga membutuhkan perubahan yang sistematis, bukan secara ekstrem.
Hal tersebut disampaikannya dalam menyorot putusan
Mahkamah Konstitusi
(MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
“Karena itu yang kita butuhkan adalah perbaikan yang sistematis dan melembaga, bukan sistem yang berubah-ubah secara ekstrem setiap pemilu. Karena tidak ada sistem pemilu yang sempurna di dunia ini,” kata Bima dalam pesan singkat kepada Kompas.com, Kamis (3/7/2025).
Ia juga menyorot
kewenangan MK
yang sering menyerobot ranah DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.
Menurutnya, perlu ada penelaahan mendasar kembali ihwal posisi ketatanegaraan MK.
“Sejauh mana kewenangan MK dalam konteks pembentukan Undang-Undang di Indonesia yang demokratis dengan DPR dan pemerintah sebagai institusi utama,” ujar Bima.
Kendati demikian, pemerintah akan mempelajari terlebih dahulu putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 secara detail dan teliti.
Ungkapnya, revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dipastikannya masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2025.
“Proses
revisi UU Pemilu
harus berlandaskan dan ditujukan untuk menjalankan UUD 1945. Materi keputusan MK akan menjadi materi yang didiskusikan, dikaji ulang, dan diselaraskan dengan tujuan UUD 1945,” ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Anggota
Komisi II
DPR Muhammad Khozin menilai MK telah mencampuri kewenangan pembentuk undang-undang terkait putusan memisahkan pemilu nasional dengan daerah.
Sebab, ia menilai bahwa penentuan model keserentakan pemilu merupakan ranah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
“Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk lompat pagar atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” ujar Khozin lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).
Ia menjelaskan, MK telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020.
Dalam putusan tersebut, MK mengusulkan enam model keserentakan pemilu kepada pembentuk undang-undang.
Khozin menegaskan, MK seharusnya menunggu pembentuk undang-undang menindaklanjuti putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 lewat revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun, MK justru mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang langsung menetapkan pemilu nasional hanya untuk memilih presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan pemilihan DPRD dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks,” ujar Khozin.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.