Bojonegoro (beritajatim.com) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan nyata dan menegakkan hukum guna mengatasi pencemaran berulang di Sungai Bengawan Solo.
Desakan ini disampaikan menyusul data resmi yang menunjukkan kualitas air sungai terpanjang di Pulau Jawa itu kembali tidak memenuhi baku mutu.
Berdasarkan catatan Stasiun Onlimo milik Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Padangan, Bojonegoro, penurunan kualitas air terjadi dalam dua periode terpisah, yakni pada 16–22 September dan 29 September 2025.
“Pemerintah tidak boleh berhenti pada rutinitas administratif. Pelaku pencemar harus dikenai sanksi administratif, perdata, hingga pidana, sekaligus diwajibkan melakukan pemulihan sungai,” tegas Direktur Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, dalam pernyataannya yang diterima pada Senin (29/9/2025).
Dampak Pencemaran: Kerugian Triliunan dan Ancaman Kesehatan
Wahyu memaparkan, pencemaran yang disebabkan oleh limbah industri, rumah tangga, dan aktivitas tambang ini telah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Di sektor pertanian dan perikanan air tawar saja, kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp1,2 triliun per tahun.
“Belum lagi ratusan miliar rupiah biaya kesehatan masyarakat yang harus dikeluarkan akibat penyakit berbasis air. Jika tidak ada penegakan hukum yang nyata, pencemaran hanya akan berulang, sementara masyarakat terus menanggung air kotor, kesehatan yang terancam, dan hilangnya penghidupan,” imbuhnya.
Tuntutan Konkret untuk Penyelamatan Sungai
Walhi Jawa Timur menuntut langkah-langkah konkret dari seluruh level pemerintahan. Tuntutan tersebut meliputi:
1. Penetapan daya tampung beban pencemaran Bengawan Solo.
2. Identifikasi menyeluruh terhadap seluruh sumber limbah.
3. Penindakan tegas terhadap pelaku pencemar, termasuk yang bersifat lintas wilayah.
Secara khusus, Pemerintah Provinsi Jawa Timur diminta memperketat penerbitan izin dan pengawasan industri. Sementara itu, pemerintah kabupaten dan kota di sepanjang aliran sungai didesak untuk menghentikan aktivitas tambang di badan dan sempadan sungai serta meningkatkan pengelolaan limbah domestik.
“Kunci utamanya adalah kebijakan pemulihan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, dengan target terukur dan transparan,” pungkas Wahyu.
Sungai Bengawan Solo yang membentang sepanjang 600 kilometer dan menjadi penopang kehidupan bagi sekitar 17 juta jiwa, dinilai kian menjauh dari fungsi ekologisnya akibat pencemaran yang terus berlangsung.
Sebelumnya, sesuai pantauan status mutu air melalui stasiun pemantau milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) di Kecamatan Padangan, aliran hilir Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dipastikan dalam kondisi tercemar.
Pantauan status mutu air sungai melalui Online Monitoring System (Onlimo) pada stasiun KLHK59 Padangan, Bojonegoro menggambarkan kondisi Bengawan Solo yang masuk ke Bojonegoro dalam keadaan tercemar ringan hingga sedang.
“Trend tujuh hari di Onlimo KLHK59 Padangan sejak 16 – 22 September 2025 menunjukan status mutu air yang masuk wilayah bojonegoro sudah tercemar ringan – tercemar sedang,” ungkap Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bojonegoro, Benny Subiakto, dalam keterangannya.
Menindaklanjuti kondisi ini, Benny mengaku telah berkoordinasi dengan wilayah hulu yaitu DLH Kabupaten Ngawi. Dari DLH kabupaten tetangga ini diperoleh informasi bahwa kondisi air Bengawan Solo yang masuk wilayah Kabupaten Ngawi sudah tercemar.
“Berdasar data ini, dugaan Bengawan Solo tercemar ini bukan berasal dari wilayah Kabupaten Bojonegoro,” tegasnya.
Untuk itu, pria yang pernah berdinas di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ini juga melakukan koordinasi dan melaporkan kondisi Bengawan Solo kepada DLH Provinsi Jawa Timur, tembusan ke Balai Besar Wilayah Sungai (BBW) Bengawan Solo, dan Balai Penegaklan Hukum (Gakkum) Kementerian LH di Surabaya.
“Koordinasi dan laporan ke pemangku kebijakan terkait ini kami lakukan sebagai upaya dalam mengidentifikasi sumber pencemar dan penanggulangannya,” tegasnya. [lus/ted]
