Wajah Ekonomi Politik dan Remiliterisasi di Balik Proyek MBG
Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
TULISAN
artikel opini I Dewa Made Agung Kertha Nugraha (
Kompas.id
, 14/10/2025) berjudul “
Yang Tak Terlihat Publik dari Program Makan Bergizi Gratis
(MBG)” menampilkan wajah teknokrasi yang rapi dan meyakinkan.
Ia menggambarkan MBG sebagai hasil kerja senyap para teknokrat, disusun dengan riset lintas lembaga dan dukungan institusi internasional.
Namun, di balik narasi yang tampak ilmiah dan objektif itu, terselip dua persoalan besar yang justru harus dibicarakan: ekonomi politik di balik MBG dan remiliterisasi sektor pangan.
Sebagai peneliti kebijakan publik sekaligus Tenaga Ahli Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nugraha menonjolkan sejumlah pilot project MBG—dari Warung Kiara di Sukabumi hingga proyek di Papua—sebagai bukti keberhasilan teknokrasi berbasis bukti (
evidence-based policy
).
Namun, contoh-contoh tersebut bersifat kasuistis, menarik tapi tidak mencerminkan wajah nasional dari pelaksanaan MBG yang kompleks dan problematik.
Data Kementerian Keuangan (2025) menunjukkan realisasi anggaran MBG yang masih rendah: per Juli 2025 realisasi tercatat sekitar Rp 5 triliun atau hanya sekitar 7 persen dari pagu Rp 71 triliun, dan per 3 Oktober 2025 naik menjadi sekitar 29 persen, yakni Rp 20,6 triliun.
Angka-angka ini menunjukkan penyerapan anggaran yang jauh dari target dan mengindikasikan lemahnya koordinasi pelaksanaan.
Beberapa laporan dari BGN dan media juga menyorot masalah higienitas dapur dan verifikasi rantai pasok.
Hingga saat ini sudah belasan ribu siswa yang keracunan makanan MBG, dan pemerintah pun sudah menutup 79 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) bermasalah.
Laporan dari beberapa kajian kelompok masyarakat sipil juga mengungkap berbagai kasus yang terjadi di sejumlah daerah terkait proyek MBG.
Keterlambatan distribusi bahan pangan, menu dengan gizi kurang seimbang, masalah pengolahan makanan, hingga kasus keracunan bukanlah kasus insiden terpisah, melainkan terjadi secara sistematis (
Kompas,
22/09/2025).
Fakta-fakta ini tak sejalan dengan klaim bahwa teknokrasi MBG “bekerja dalam senyap dengan empati sosial.” Diamnya sistem justru menyembunyikan cacat struktural dalam tata kelola anggaran dan pengawasan publik.
Dengan total anggaran diperkirakan mencapai Rp 185,2 triliun per tahun (Bappenas, 2024), MBG bukan sekadar kebijakan gizi, melainkan proyek ekonomi politik raksasa yang menautkan tiga simpul kekuasaan sekaligus: negara, korporasi pangan, dan elite politik lokal.
Dalam perspektif ekonomi politik, MBG dapat dibaca sebagai bentuk
state-led market creation
—negara menciptakan pasar baru dengan justifikasi moral “perbaikan gizi nasional.”
Negara tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga sebagai market maker melalui intervensi anggaran, penugasan BUMN, dan pembentukan rantai pasok baru.
Di balik jargon pemerataan dan kesejahteraan, terbuka ruang ekonomi bagi berbagai aktor besar: produsen pangan olahan, korporasi agribisnis, penyedia logistik, hingga kontraktor katering berskala nasional.
Dari berbagai laporan publik menunjukkan sejumlah BUMN—seperti BRI, BNI, Bank Mandiri, Telkom, PLN, PGN, dan Pupuk Indonesia—ditugaskan mendukung pelaksanaan MBG.
Keterlibatan ini memperlihatkan bagaimana
industrial food complex
kini berkelindan dengan kebijakan sosial.
Meski belum ditemukan adanya bukti publik yang mengonfirmasi keterlibatan langsung para donatur kampanye dalam rantai pengadaan MBG, yang dapat dipastikan: mekanisme pengadaan MBG membuka ruang ekonomi baru yang sangat besar dengan potensi konflik kepentingan. Hal inilah yang perlu diawasi melalui transparansi dan audit publik.
Kebijakan yang semula diklaim berbasis bukti (
evidence-based policy
) dapat berubah fungsi menjadi
evidence-based politics
—bukti dan data digunakan bukan untuk merancang kebijakan publik, tetapi untuk melegitimasi proyek kekuasaan.
Bahasa teknokratis seperti
pilot project, centre of excellence
, atau
nutritional innovation
membangun ilusi rasionalitas, seolah semua keputusan diambil atas dasar ilmiah, padahal ia melayani logika akumulasi ekonomi-politik.
Jika ditarik ke hulu, MBG juga merepresentasikan bentuk baru dari
clientelistic state capitalism
—kapitalisme negara yang mengandalkan relasi patronase politik.
Pemerintah dapat diduga menjadi broker antara anggaran publik dan jaringan bisnis yang loyal. Dalam prosesnya, teknokrat berperan sebagai perantara ideologis yang mensterilkan aroma politik di baliknya.
Dengan jumlah anggaran yang hampir setara dengan total belanja pendidikan dasar nasional, MBG menjadi instrumen elektoral paling efektif bagi rezim Prabowo–Gibran untuk mengonsolidasikan legitimasi di tingkat daerah.
Di banyak provinsi, pengelolaan dapur MBG diserahkan kepada kontraktor lokal yang berafiliasi dengan partai atau jaringan militer-pemerintah (
Tempo
, 20/04/2025).
Proyek ini memperkuat ekonomi politik patronase sekaligus memarginalkan usaha kecil, petani, dan pelaku pangan lokal yang tidak memiliki akses politik.
Di sisi lain, logika teknokrasi MBG memperkuat ketergantungan pada komoditas impor seperti daging ayam, susu bubuk, dan gandum.
Ini menunjukkan bahwa kedaulatan pangan—yang semestinya menjadi inti kebijakan gizi nasional—justru digantikan oleh kedaulatan logistik dan korporasi.
Dengan demikian, kebijakan yang diklaim pro-gizi anak sebenarnya turut memperdalam ketimpangan struktur ekonomi pangan di tingkat nasional.
Singkatnya, MBG adalah cermin dari apa yang disebut James C. Scott (1998) sebagai “state simplifications”—negara yang menyederhanakan kompleksitas sosial untuk memudahkan kontrol.
Dalam hal ini, urusan gizi anak dipangkas menjadi urusan teknis dan logistik, padahal di dalamnya terkandung kepentingan politik, ekonomi, bahkan militer.
Bagian lain dari tulisan Nugraha, menyiratkan pembenaran atas keterlibatan TNI dalam ekosistem ketahanan pangan nasional.
Dalam kerangka ini, kerja militer diposisikan sebagai bagian dari “strategi adaptif” yang disebut selaras dengan filosofi OODA Loop (
observe, orient, decide, act
) ala Prabowo.
Namun, pendekatan ini problematik: ia membuka ruang bagi militer untuk bekerja di luar fungsi pertahanannya—suatu praktik yang seharusnya sudah ditinggalkan sejak era reformasi.
Keterlibatan militer dalam program pangan bukan sekadar “koordinasi logistik”, tetapi langkah sistematis menuju remiliterisasi kebijakan sipil, mengingat latar belakang Presiden Prabowo yang berasal dari militer.
Rencana pembentukan Batalion Teritorial Pembangunan yang dikaitkan dengan pelaksanaan MBG (Kemhan, 2025) memperkuat sinyal itu.
Setiap batalion akan ditempatkan di wilayah strategis untuk mendukung “ketahanan pangan daerah” dengan sumber daya dan lahan tersendiri.
Di beberapa daerah, kebijakan ini menimbulkan konflik agraria, seperti di Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, di mana warga melaporkan perampasan lahan yang digunakan untuk membangun markas Batalion Teritorial Pembangunan 842/Badak Sakti (
TribunBanten
, 24/09/2025).
Kebijakan semacam ini bukan hanya melanggar prinsip
civilian supremacy
, tetapi juga mengingatkan publik pada trauma lama Dwi Fungsi ABRI di masa Orde Baru—ketika militer berperan ganda di sektor sipil dan ekonomi.
Jika tren ini berlanjut, MBG bisa menjadi pintu masuk bagi kembalinya kontrol militer atas urusan sipil dengan dalih “ketahanan pangan nasional.”
Contoh baik seperti SPPG di Warung Kiara seharusnya tidak hanya dielu-elukan, tetapi dijadikan model yang diarusutamakan melalui regulasi nasional.
Namun hingga Oktober 2025, pemerintah belum menerbitkan Peraturan Presiden tentang Tata Kelola MBG Nasional. Padahal, peraturan ini penting untuk memastikan mekanisme akuntabilitas lintas kementerian.
Ketiadaan regulasi membuat MBG berjalan seperti
policy by decree
—tergantung pada arahan politik Presiden dan tim teknokrat di bawahnya. Ini bukan ciri negara hukum modern, melainkan pola lama pemerintahan berorientasi komando.
Sementara itu, National Centre of Excellence (NCoE) yang digadang sebagai laboratorium kebijakan justru cenderung elitis dan minim partisipasi masyarakat sipil. Evaluasi publik yang seharusnya deliberatif berubah menjadi sekadar formalitas administratif.
Jika MBG ditujukan untuk memperbaiki gizi anak sekolah, maka ukuran keberhasilannya bukan jumlah dapur atau volume logistik, melainkan peningkatan indeks gizi nasional. Aspek ini luput dari diskursus teknokrasi yang ditulis Nugraha.
Teknokrasi yang menolak kritik atas nama profesionalisme justru kehilangan sisi etisnya. Ketika bahasa ilmiah dipakai untuk menutupi problem politik dan militerisasi kebijakan pangan, kita sedang menyaksikan kembalinya gaya lama Orde Baru dalam bungkus baru: teknokrasi tanpa demokrasi.
MBG adalah gagasan mulia yang kini disandera dua hal: politik rente dan semangat remiliterisasi.
Namun, kritik atasnya bukan penolakan terhadap cita-cita memberi makan anak bangsa, melainkan upaya menjaga agar gagasan itu tetap berada di rel demokrasi dan keadilan sosial.
Negara memang perlu teknokrat, tetapi teknokrasi tanpa transparansi hanya melahirkan birokrasi yang beku. Negara juga butuh militer, tetapi militer tanpa batas sipil hanya melahirkan ketakutan.
Demokrasi tumbuh bukan dari kesenyapan teknokrat atau disiplin barisan seragam, tetapi dari keberanian publik untuk bertanya, mengawasi, dan mengoreksi.
Jika MBG benar-benar ingin menyehatkan anak-anak bangsa, maka hal utama yang harus disembuhkan adalah politik yang lapar kekuasaan, bukan sekadar perut yang kelaparan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Wajah Ekonomi Politik dan Remiliterisasi di Balik Proyek MBG Nasional 18 Oktober 2025
/data/photo/2025/10/18/68f30e0fefc4c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)