Wabah PMK Kembali Merebak di Indonesia, Apa yang Harus Dilakukan Peternak?
Tim Redaksi
YOGYAKARTA,KOMPAS.com
– Wabah
Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK) kembali merebak di Indonesia.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (
UGM
) Prof Aris Haryanto membeberkan terkait mitigasi yang perlu dilakukan sesuai dengan gejala PMK yang muncul.
Penyakit PMK atau bernama lain
apthae epizootica
(AE),
aphthous fever
, dan
foot and mouth disease
(FMD) ini disebabkan oleh virus RNA, genus
Apthovirus
yang termasuk dalam keluarga
Picornaviridae
.
“Virus ini bisa menyebar secara langsung melalui udara. Jika hewan itu ditempatkan berdampingan, kemungkinan tertularnya besar. Bahkan ada kasus di mana penularannya bisa sampai 200 km jaraknya,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (6/01/2025).
Prof Aris menyampaikan mitigasi PMK perlu dilakukan secara bertahap sesuai gejala yang muncul.
Pada tahap pertama
, hewan yang terkena PMK akan mengalami demam tinggi.
Peternak diharapkan bisa bersikap tanggap dengan memberi analgesik dan antibiotik untuk meredakan nyeri dan demam.
Guna mencegah penularan, hewan yang mengalami gejala harus dipisahkan dengan hewan lainnya agar.
Kompas.com/MOH.ANAS Petugas dari Dinas Pertanian dan Kesehatan Hewan Kabupaten Pasuruan mengambil tindakan dalam rangka menyikapi merebaknya kasus PMK, Senin (06/01/2025).
Tahap selanjutnya
, akan muncul lepuh atau lesi atau sariawan pada rongga mulut, serta luka pada kuku.
“Hewan yang terinfeksi harus diberi antibiotik dan vitamin secara berkala, ini untuk mencegah munculnya infeksi sekunder akibat luka yang terbuka,” ungkapnya.
Selama pelaksanaan mitigasi, peternak diharapkan menerapkan biosekuriti yang baik pada area kandang dengan mengawasi secara ketat akses keluar masuk pada hewan yang terinfeksi.
Adapun masa inkubasi virus PMK bisa dalam jangka panjang selama 2 hingga 5 hari. Sedangkan jangka pendek, terjadi dalam masa waktu 10 hingga 14 hari.
“Tidak perlu panik, utamanya segera lapor dan lakukan mitigasi. Pemerintah saat ini sudah menutup beberapa pasar hewan di
Yogyakarta
dan Jawa Tengah. Harapannya masyarakat bisa menaati karena ini bersifat sementara,” tuturnya.
Prof Aris mengatakan, kemungkinan lonjakan kasus PMK dikarenakan proses vaksinasi yang belum menyeluruh dan dilakukan secara berkala.
“Kasus PMK kali ini merupakan gelombang kedua, sebelumnya sudah pernah (vaksinasi) dan peternak sekarang sudah terinformasi. Namun karena kasusnya mereda, jumlah vaksinasinya juga menurun,” ungkapnya.
Pengembangan vaksin PMK terus digalakkan oleh pemerintah dengan mengembangkan jenis vaksin sesuai dengan tipe virus yang muncul dalam kasus nasional.
Hanya saja, produksi vaksin dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan vaksinasi untuk hewan-hewan ruminansia ternak yang rentan terkena PMK.
“Vaksinasi itu harus dilakukan dua kali minimal. Jarak antara vaksin pertama dan kedua itu sebulan. Tapi setelah itu tetap harus divaksin setiap enam bulan sekali,” ucapnya.
Prof Aris berpendapat, perlu upaya kerja sama antar pihak sangat diperlukan untuk mengatasi
wabah PMK
.
Pemerintah bersama Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan sejumlah pakar terus menjalin kerja sama agar jumlah kasus terinformasi dan tertangani dengan baik.
Khusus wilayah DIY dan Jawa Tengah, Fakultas Kedokteran Hewan UGM juga turut berkontribusi menangani kasus PMK melalui PDHI maupun penerjunan mahasiswa secara langsung.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.