Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional

Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional

Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
ADA
satu adigium di dalam penulisan sejarah yang sering dikutip di seluruh dunia. Bunyinya, “
History is written by the victors
” atau sejarah ditulis oleh para pemenang.
Kabarnya, jika kita merujuk kepada buku sejarah, tak terlalu jelas siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.
Belakangan dalam beberapa kajian terbaru di Amerika Serikat, pencetus pertama kalimat tersebut mengerucut kepada dua tokoh, yang dalam perjalanan sejarah di masa lampau ternyata saling bermusuhan.
Pertama, Herman Gering, salah satu tangan kanan Adolf Hitler. Pada pengadilan tribunal Nuremberg, Herman Gering memang tercatat pernah mengatakan “
Der Sieger wird immer der Richter und der Besiegte stets der Angeklagte sein
,” yang berarti “
The victor will always be the judge, and the vanquished the accused.

Lebih kurang dalam bahasa Indonesia memiliki arti bahwa “pemenang akan selalu menjadi hakim, sementara yang kalah akan menjadi terdakwa”.
Kedua, Winston Churcill. Dalam sebuah pernyataan yang bernada candaan di hadapan
House of Common
pada 23 Januari 1948, Churcill tercatat mengatakan “
For my part, I consider that it will be found much better by all parties to leave the past to history, especially as I propose to write that history myself
”.
 
Lebih kurang artinya, “Menurut saya, akan jauh lebih baik bagi semua pihak untuk membiarkan masa lalu menjadi sejarah, terutama karena saya sendiri yang mengusulkan untuk menulis sejarah itu.”
Namun lebih dari itu, dalam penelusuran sejarah, istilah senada acapkali muncul di dalam diskusi masyarakat di masa lalu.
Peneliti Ken Hirsch menemukan kepingan dialog di dalam masyarakat Perancis pada 1848 yang berbunyi “
histoire est juste peut-être, mais qu’on ne l’oublie pas, elle a été écrite par les vainqueurs
”.
Dalam bahasa Inggris memiliki arti bahwa “
The history is right perhaps, but let us not forget, it was written by the victors.

Pun Ken menemukan di dalam dialog masyarakat Italia pada 1852, berbunyi “
La storia di questi avvenimenti fu scritta dai vincitori
” di mana dalam bahasa Inggris berarti “
The history of these events was written by the winners
”.
Namun, kata Ken, pernyataan yang beragam itu muncul dalam bahasa yang jauh lebih elegan sebagaimana dikenal hari ini melalui mulut tokoh besar Revolusi Perancis, yakni Maximilien Robespierre.
Bunyinya, “
Vanquished, his history written by the victors
”. Lebih kurang berarti bahwa sejarah pihak yang kalah ditulis oleh para pemenang.
Di sini tentu saya tidak ingin memperpanjang daftar pengucap pertama adigium tersebut. Selain bukan bidang saya secara keilmuan, saya sejatinya juga kurang tertarik untuk memperpanjang cerita kronologis-etimologis dari adigium tersebut.
Saya di sini lebih memilih untuk fokus kepada pesan yang tersimpan di balik adigium tersebut, dikaitkan dengan perkembangan kontemporer di Indonesia saat ini.
Poin pertama yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sejarah Indonesia tidak akan berubah secara faktual historis, sekalipun ditulis ulang di dalam bahasa kekuasaan.
Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya tidak perlu membagi fokus antara mengurus rakyat dan menulis ulang sejarah nasional Indonesia.
Karena secara moral dan substansial, mengurus rakyat jauh lebih “wajib” ketimbang menulis ulang sejarah versi pemerintah sendiri yang notabene juga hanya untuk kepentingan pemerintah sendiri.
Biarkan sejarawan dan para ilmuwan yang akan mengurusnya, karena mereka memang secara moral dan substansial bertugas untuk menulis itu semua.
Kata seorang kolega akademisi di luar negeri tentang negaranya, bahwa tak perlu semua negara termasuk negaranya harus diseragamkan tentang sejarah. Menurut dia, negerinya bukan “negeri Hitler” atau “negeri Stalin”, di mana segala sesuatunya harus berdasarkan versi pemerintah.
Hal tersebut sangat perlu saya sampaikan di sini karena pernyataan pemerintah terkait dengan sejarah nasional belakangan sudah mulai melenceng terlalu jauh.
Jangan sampai ambisi pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional dengan bahasa kekuasaan justru memunculkan preseden buruk di negeri ini untuk masa-masa mendatang.
Cukup mengkhawatirkan untuk membayangkan sepuluh tahun dari sekarang, katakanlah ketika gerbong kekuasaan mulai bergeser ke pusat yang lain, hal yang sama juga dilakukan nantinya atau kejadian berulang merujuk penguasa yang baru.
Apa jadinya negeri ini jika sejarahnya diacak-acak secara politik setiap kali terjadi pergantian kekuasaan.
Poin kedua saya adalah bahwa terlepas apapun bentuk keberatan pemerintah atas beberapa titik di dalam sejarah nasional, bahkan jika benar sekalipun keberatan tersebut, tugas pemerintah hanya menyampaikan keberatan tersebut kepada publik.
Lalu biarkan ahli sejarah dan sejarahwan serta para cerdik pandai yang akan mengurusnya. Bahkan jika pada akhirnya tidak ditemukan titik kesamaan antarpara sejawaran dan ahli sejarah serta cerdik pandai, maka biarkanlah tetap seperti itu, karena akan jauh lebih baik seperti itu dibandingkan dengan ditulis ulang menggunakan bahasa kekuasaan.
Apalagi jika keberatan pemerintah atas satu atau dua keping peristiwa sejarah hanya berdasarkan satu sudut sempit di satu sisi dan apalagi jika memiliki “modus” yang kurang baik di sisi lain, tentu akan jauh lebih berbahaya bagi negeri ini dan fatal bagi eksistensi ilmu sejarah di kampus-kampus nasional.
Lihat saja, betapa berbahayanya pernyataan Menteri Kebudayaan
Fadli Zon
yang menafikan validitas pemerkosaan massal di tahun 1998.
Karena hasil temuan tim pencari fakta sudah sangat jelas dipaparkan selama ini bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan korban-korbannya sudah diungkapkan secara jelas pula.
Ucapan tersebut setali tiga uang dengan bahaya yang tersimpan di balik ambisi pemerintah yang ingin menulis ulang sejarah versi “pelat merah”.
Dan dalam konteks itu pula mengapa di awal tulisan ini saya harus memulainya dengan adigium di atas.
Potensi distorsinya akan sangat tinggi jika kekuasaan sudah mulai berusaha “cawe-cawe” di dalam penulisan sejarah nasional negara.
Pasalnya, di dalam kekuasaan, tak ada bahasa “ilmiah” yang bisa dipegang secara objektif, tanpa ada kepentingan di baliknya.
Akan selalu ada “udang” di balik “batu”, jika bahasa kekuasaan sudah mulai memasuki ranah yang tak perlu dimasuki itu. Jika tak demikian, bukan kekuasaan namanya toh.
Sehingga, kita sebagai anak bangsa sebaiknya jangan pernah mau terprovokasi untuk diajak mencampuradukkan antara kepentingan kekuasaan dengan penulisan sejarah nasional yang sejatinya harus ditulis secara ketat dan ilmiah oleh para pihak yang kompeten, yakni sejarawan dan ilmuwan.
Karena itu, dalam hemat saya, sekaligus sebagai usulan baik saya kepada pemerintah, langkah terbaik yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait dengan sejarah nasional adalah mencontoh sikap dan tindakan dari negara besar lain, terutama Amerika Serikat.
Jika memang pemerintah memiliki data dan informasi yang selama ini belum mampu diakses publik, terutama oleh ahli sejarah dan sejarawan, maka “release” data tersebut, layaknya CIA, misalnya, merilis data yang mereka miliki setelah 50 tahun waktu berlalu.
Lalu biarkan ilmuwan dan sejarawan yang menjadikannya serpihan-serpihan ilmiah sejarah nasional Indonesia.
Dan poin ketiga, saya tidak mau naif dalam hal ini, jadi saya akan menghormati para pihak yang ingin menulis ulang sejarah, tapi bukan dengan mengatasnamakan pemerintah atau negara.
Usul saya, ada cara lain yang juga tak kalah elegannya untuk para pihak di dalam pemerintahan agar bisa terlibat di dalam dinamika dan proses penulisan sejarah nasional Indonesia, yakni menulis kepingan sejarah atas nama sendiri.
Sebagaimana diketahui, Fadli Zon sebagai salah satu anak bangsa pilihan (karena diangkat menjadi salah satu menteri), bukan sebagai pejabat negara, menuliskan versinya sendiri atas satu atau dua peristiwa di dalam perjalanan sejarah nasional yang menurutnya kurang bisa ia terima.
Hal semacam ini juga lazim dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintah di mana pun di dunia ini. Namun lagi-lagi tidak mengatasnamakan pemerintah atau negara, tapi mengatasnama diri sendiri (biasanya setelah tak lagi menjabat).
Memang tidak akan menjadi versi resmi pemerintah, karena sebaiknya tidak ada istilah “versi resmi pemerintah” di dalam penulisan sejarah. Hal itu toh memang tak diperlukan. 
Namun setidaknya keresahan para pihak di dalam pemerintahan secara orang perorang terhadap satu atau dua kepingan sejarah nasional tidak pernah dilarang untuk disampaikan kepada publik melalui cara-cara yang baik.
Apalagi tokoh-tokoh sekelas Fadli Zon dan kawan-kawan diyakini memiliki sumber daya berlimpah untuk menerbitkan ribuan eksemplar buku, tanpa harus membawa-bawa nama pemerintah dan negara.
Dengan cara itu, Fadli Zon dan kawan-kawan bisa mempertahankan thesisnya soal peristwa pemerkosaan massal 1998 atau versi lain pemberontakan Madiun, atau apapun, misalnya.
Saya yakin, jika thesis Fadli Zon tak kuat, maka para sejarawan dan publik akan menelanjanginya. Namun jika benar, saya juga yakin, publik dan sejarawan akan mengafirmasi dan mengapresiasi.
Dan lagi-lagi, dialektika semacam itu akan berlangsung objektif dan mulus, karena tidak ada dinding negara dan kekuasaan yang harus dihadapi.
Lain cerita kalau sudah mengatasnamakan negara atau pemerintah, maka dialektika ilmiah sudah nyaris tidak ada lagi di satu sisi dan adigium bahwa “
history is written by the victors
” akan berlaku di sisi lain.
Oleh karena itu, di sini saya harus mengulangi lagi, negara dan pemerintah tak perlu “cawe-cawe” di dalam penulisan ulang sejarah.
Sebagai bagian dari rakyat biasa saya dengan kerendahan hati hanya berharap agar pemerintah fokus saja kepada janji-janji politik yang sudah terlanjur dinyanyikan selama masa kampanye. Itu sudah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.