Baru-baru ini media diramaikan oleh pemberitaan aksi demo yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa. Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia menggelar aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” di depan Istana Merdeka pada 17 Februari 2025, Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan respons terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan sektor pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.
Aksi ini mencerminkan kekecewaan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, khususnya dalam bidang pendidikan dan penegakan hukum. Selain itu, demonstrasi ini juga menjadi simbol perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat dan lingkungan. Para mahasiswa berharap pemerintah segera menindaklanjuti tuntutan tersebut demi terciptanya Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menjalankan kehidupannya secara terisolasi, karena keberadaannya selalu bergantung pada interaksi dengan individu lain dalam komunitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan dukungan sosial, baik dalam bentuk hubungan keluarga, pertemanan, maupun organisasi yang lebih luas seperti masyarakat dan negara.
Tanpa keberadaan komunitas yang stabil dan harmonis, individu akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik secara emosional, ekonomi, maupun intelektual. Oleh karena itu, menjaga stabilitas sosial menjadi suatu keharusan agar keseimbangan dalam masyarakat tetap terjaga, sehingga setiap individu dapat berfungsi secara optimal dalam perannya masing-masing.
Stabilitas sosial tidak hanya berdampak pada kehidupan individu, tetapi juga menentukan keberlangsungan sebuah bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan yang muncul dari dalam maupun luar komunitasnya.
Untuk memastikan tatanan sosial tetap kuat dan harmonis, berbagai ancaman yang berpotensi menyebabkan perpecahan harus diantisipasi sejak dini. Konflik internal dalam masyarakat, seperti kesenjangan sosial, diskriminasi, dan penyebaran informasi yang menyesatkan, dapat menjadi pemicu disintegrasi yang merusak persatuan.
Begitu pula dengan ancaman eksternal, seperti intervensi asing atau ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai kebersamaan, yang dapat menggoyahkan fondasi sosial yang telah dibangun.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam menjaga persatuan dan mencegah potensi konflik. Pendidikan yang menanamkan nilai toleransi, keadilan sosial, dan solidaritas menjadi salah satu cara efektif dalam
membangun ketahanan sosial. Selain itu, peran aktif pemerintah dan lembaga masyarakat dalam menciptakan kebijakan yang adil serta menegakkan hukum secara transparan juga menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas sosial. Dengan demikian, masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera dapat terwujud, memungkinkan setiap individu untuk berkembang dan berkontribusi secara positif dalam kehidupan bersama.
Dalam Islam, prinsip-prinsip mendasar yang menjadi tujuan utama hukum syariat, yang dikenal sebagai maqashid al-syari’ah al-dharuriyah. Maqashid al syari’ah merupakan perspektif yang dinamis dan adaptif dalam menghadapi tantangan zaman. Pemahaman terhadap nalar ushulli yang dikembangkan oleh para ushuliyun dalam menetapkan hierarki nilai hukum menjadi jembatan penting dalam menghasilkan produk hukum yang relevan dengan perubahan sosial.
Prinsip ini tidak hanya harus dipahami secara konseptual, tetapi juga harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, upaya dalam mewujudkan maqashid al-syari’ah harus memperhatikan aspek-aspek yang berperan dalam menjaga keseimbangan sosial dan ketahanan masyarakat, (al-Najar, 2008: 157).
Masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari berbagai elemen yang saling berkaitan. Abdul Majid al-Najar mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem yang kompleks, di mana kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh interaksi antara berbagai institusi di dalamnya.
Demi memastikan maqashid al syari’ah al-dharuriyah dapat tercapai, terdapat dua hal mendasar yang harus dijaga, yaitu: (1) mempertahankan eksistensi berbagai institusi sosial, dan, (2) menjamin kesinambungan hubungan yang harmonis di antara institusi-institusi tersebut. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan istilah hifzh al-daulah, (al-Najar, 2008: 158).
Selain mendukung pembentukan keluarga sebagai unit sosial terkecil, Islam juga menekankan pentingnya pendirian negara yang berfungsi sebagai wadah dalam menjaga keberlangsungan kehidupan sosial. Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap dijadikan rujukan dalam konteks pemerintahan adalah Q.S. al-Nisa: 59.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًاࣖ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).”
Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut, kata “uli” adalah bentuk jamak dari “waliy”, yang bermakna pemimpin, pengelola, atau penguasa. Sedangkan “al-amr” merujuk pada urusan atau wewenang dalam pemerintahan.
Dengan demikian, “uli al-amr” merujuk kepada individu-individu yang memiliki otoritas dalam mengatur urusan masyarakat, mencakup berbagai elemen yang memiliki tanggung jawab sosial, baik dalam ranah pemerintahan maupun bidang lain yang berkontribusi terhadap tatanan sosial, seperti aparat keamanan dan kaum cendekiawan, (Shihab, 2000: 460-461).
Secara konseptual, definisi negara memiliki berbagai perspektif. Aristoteles menggambarkan negara sebagai lembaga yang bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi bagi umat manusia. Sementara itu, pemikir Islam, al-Mawardi, mendefinisikan negara sebagai institusi politik yang berperan sebagai penerus fungsi kenabian dalam mengatur urusan agama dan kehidupan duniawi, (al-Khattani dan Nurdin, 2000: 15).
Jika ditelaah lebih lanjut, pandangan al-Mawardi sejalan dengan pemikiran Quraish Shihab dalam tafsirnya, yang menegaskan bahwa negara memiliki peran penting dalam mengakomodasi aspek keagamaan dan sosial masyarakat. Namun, bentuk sistem pemerintahan yang diterapkan bersifat fleksibel, selama dapat menjalankan fungsinya dengan optimal.
Sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam memastikan tercapainya maqashid al-syari’ah, negara tidak dapat bergerak sendiri. Diperlukan kolaborasi dan sinergi antara negara dengan berbagai institusi sosial yang ada. Masyarakat juga harus memiliki komitmen dalam menaati aturan yang ditetapkan oleh pemerintah guna menciptakan kehidupan yang aman dan harmonis. Ketaatan terhadap hukum menjadi kunci dalam menjaga ketertiban dan menghindari konflik sosial.
Konsep ini selaras dengan pemikiran Socrates dan Plato yang menyatakan bahwa hukum dan negara berfungsi untuk menciptakan keadilan, ketertiban, serta keamanan dalam kehidupan masyarakat, (Schmid, 1965: 9-15).
Fenomena maraknya konservatisme agama belakangan ini turut menjadi tantangan dalam menjaga stabilitas politik negara. Gus Dur pernah menyoroti bahwa salah satu agenda kaum konservatif adalah mengupayakan formalisasi Islam dalam sistem pemerintahan melalui konsep khilafah. Padahal, jika ditinjau lebih dalam, Pancasila sejatinya telah mencerminkan nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan substansial, (Wahid, 2011: xvii).
Oleh karena itu, upaya penguatan konsep hifzh al daulah harus terus dioptimalkan. Maqashid al-syari’ah tidak akan terwujud dengan baik jika kondisi negara berada dalam situasi konflik dan ketidakstabilan.
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)