Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut Indonesia berada dalam sikap memperkuat posisi pemilikan pada tambang emas raksasa yang dikendalikan PT Freeport Indonesia. Indonesia meminta tambahan kepemilikan sebesar 12% saham.
Rencana penambahan saham ini merupakan kelanjutan dari arahan Presiden Prabowo Subianto. Bahlil menyebut, setelah penambahan maka pemerintah akan menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di Tanah Air tersebut.
“Saham kita sekarang kan 51%, tetapi dalam Pemerintahan sebelumnya pun, saya juga ikut terlibat dalam pembahasan ini. Atas arahan perintah Bapak Presiden Prabowo kita menambah 12% dan divestasi ini nilainya sangat kecil sekali. Nah, tapi [transaksi] ini terjadi setelah 2041,” ujar Bahlil, Jumat (24/10/2025).
Menurutnya, pemerintah menargetkan pembahasan finalisasi dengan pihak Freeport akan dimulai pada awal November 2025. Target ini adalah waktu perkiraan insiden longsor di tambang bawah tanah (underground) yang menelan 7 korban jiwa sepenuhnya ditangani.
“Semua jenazah sudah ditemukan dan evakuasi selesai. Saat ini inspektur tambang sedang memeriksa penyebab kejadian. Insyaallah bulan depan [November] sudah ada tanda-tanda perbaikan, dan kita mulai pembicaraan untuk finalisasi penambahan saham,” kata Bahlil.
Freeport Tetap Bayar Pajak 25%
Dalam skema baru ini, Bahlil memastikan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) Badan Freeport akan tetap sebesar 25%, meski tarif umum PPh badan nasional kini berada di bawah 22%.
“Kami ingin memastikan negara mendapat manfaat optimal. Selain itu, Freeport juga akan membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan di Papua, serta memprioritaskan pengusaha lokal Papua untuk terlibat dalam proyek-proyek mereka,” tegasnya.
Bahlil menambahkan, walau nilai akuisisi belum bisa diungkapkan, arah kebijakan pemerintah sudah solid. Produksi Freeport saat ini merupakan hasil eksplorasi sejak 2003–2004, dengan puncak produksi diperkirakan terjadi pada tahun 2035 sebelum mengalami penurunan.
“Oleh karena itu, pembicaraan perpanjangan dan eksplorasi baru harus segera dilakukan agar kita tidak kehilangan waktu,” tandas Bahlil.
