Jakarta, Beritasatu.com — Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah korban jiwa akibat banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara hingga Jumat (12/11/2025) sore, mencapai 995 orang. Sebanyak 226 warga masih hilang.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dalam konferensi pers daring menjelaskan angka tersebut terus bergerak seiring proses pencarian dan identifikasi jenazah di daerah terdampak.
“Saat ini total ada 995 korban meninggal dunia di tiga provinsi,” ujarnya.
BNPB, kata Muhari, terus mempercepat distribusi logistik dan pemenuhan kebutuhan dasar, terutama air bersih, makanan siap saji, obat-obatan, dan layanan kesehatan darurat.
Muhari menambahkan, angka korban meninggal kemungkinan akan mengalami penyesuaian. Pemerintah tingkat kecamatan mulai melakukan proses verifikasi data berbasis catatan sipil (by name, by address) untuk memastikan seluruh nama yang tercatat benar-benar merupakan korban bencana.
Pada periode tersebut, curah hujan harian mencapai lebih dari 150 milimeter, bahkan beberapa stasiun BMKG mencatat hingga 300 milimeter dalam 24 jam, mendekati intensitas hujan ekstrem yang memicu banjir besar Jakarta pada 2020.
Selain itu, fenomena atmosfer turut memperkuat pembentukan awan hujan. Pada 24 November, terbentuk vortex di Semenanjung Malaysia yang berkembang menjadi siklon tropis Senyar di Selat Malaka.
Meski tidak sekuat siklon di Samudra Hindia, sistem ini cukup untuk meningkatkan suplai uap air dan memperluas wilayah presipitasi. Indikasi cold surge vortex serta sistem skala meso juga mempercepat pembentukan awan-awan konvektif berintensitas tinggi.
Dari sisi geospasial, sejumlah ahli menilai kerusakan lingkungan menjadi faktor penting yang memperparah dampak banjir. Heri Andreas, dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, mengatakan bahwa tingkat keparahan banjir tidak hanya ditentukan oleh tingginya curah hujan.
“Banjir bukan semata tentang hujan. Yang lebih menentukan adalah bagaimana permukaan bumi menerima, menyerap, dan mengalirkan air,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa kawasan berhutan memiliki kapasitas infiltrasi tinggi. Namun ketika lahan-lahan ini berubah menjadi permukiman, perkebunan intensif, atau area terbuka lainnya, kemampuan tanah untuk menahan air menurun drastis. Hilangnya vegetasi menyebabkan air hujan langsung melimpas ke sungai tanpa hambatan, meningkatkan debit air secara tiba-tiba dan memicu banjir bandang.
Heri juga menyoroti bahwa peta bahaya banjir di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan akibat keterbatasan data geospasial dan pemodelan. Padahal, perencanaan tata ruang berbasis risiko menjadi kunci untuk mencegah bencana serupa terulang di masa mendatang.
