Jakarta, Beritasatu.com – Forum Solidaritas Hakim Adhoc Indonesia (FSHA) menyatakan, hakim adhoc masih mengalami ketimpangan penghasilan dan fasilitas. Karenanya FSHA mendukung Presiden Prabowo Subianto untuk segera merevisi Perpres 5/2013 demi keadilan.
Pada 19 Februari 2025, Mahkamah Agung Republik Indonesia akan menggelar Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung. Acara ini berlangsung empat bulan setelah Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 pada akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Salah satu kebijakan dalam PP ini adalah kenaikan penghasilan bagi para hakim karier. Meski dinilai belum sepenuhnya memadai, kebijakan ini tetap dianggap sebagai langkah positif dalam meningkatkan kesejahteraan hakim.
Namun, di balik kebijakan ini, ada kelompok hakim yang seolah dilupakan: hakim adhoc. Mereka tidak termasuk dalam penerima kenaikan kesejahteraan ini karena hak keuangan mereka masih diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2013. Perpres ini memang mengalami perubahan pada 2023 untuk menyesuaikan penghasilan hakim adhoc hak asasi manusia, tetapi hakim adhoc lainnya, seperti hakim adhoc tindak pidana korupsi, hubungan industrial, dan perikanan
Selain tidak mendapatkan kenaikan penghasilan, hakim adhoc juga harus menghadapi pemotongan pajak dari penghasilannya. Berbeda dengan hakim karier yang gaji dan tunjangannya tidak dipotong pajak, hakim adhoc harus menerima potongan yang signifikan. Misalnya, hakim adhoc Hubungan Industrial tingkat pertama yang berdasarkan Perpres 5/2013 menerima uang kehormatan sebesar Rp17,5 juta, setelah dipotong pajak hanya mendapatkan sekitar Rp15 juta.
Ketimpangan ini semakin nyata ketika dibandingkan dengan hakim karier dalam satu majelis yang menangani perkara yang sama. Hakim karier dalam perkara Tindak Pidana Korupsi bisa menerima penghasilan sekitar Rp 37 juta per bulan, sedangkan hakim adhoc hanya mendapatkan sekitar Rp 18 juta. Padahal, baik hakim karier maupun hakim adhoc memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam menjalankan sistem peradilan di Indonesia.
Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan telah menegaskan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan hakim serta memberantas korupsi, meningkatkan kesejahteraan buruh, dan memberikan kepastian bagi pengusaha. Namun, hingga saat ini, hakim adhoc yang bertugas di bidang-bidang strategis tersebut belum mendapat perhatian yang layak. Hakim adhoc tindak pidana korupsi, misalnya, yang menangani perkara dengan nilai kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah, masih harus bertahan dengan penghasilan yang jauh lebih rendah dibandingkan hakim karier.
Saat ini, beredar informasi bahwa Mahkamah Agung dan pemerintah sedang membahas revisi Perpres Nomor 5 Tahun 2013. Namun, belum ada kepastian kapan revisi ini akan selesai dan sejauh mana perubahan tersebut akan mengakomodasi kesejahteraan hakim adhoc. Oleh karena itu, diharapkan Presiden dapat mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa kebijakannya dalam memberantas korupsi, meningkatkan kesejahteraan buruh, serta menjaga kedaulatan perikanan juga mencakup peningkatan kesejahteraan hakim adhoc.
Forum Solidaritas Hakim Adhoc Indonesia (FSHA) menyambut baik pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung yang menyoroti pentingnya kesejahteraan hakim. Presiden mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi hakim yang masih banyak tinggal di rumah kos karena keterbatasan finansial.
FSHA juga menekankan pentingnya pernyataan Presiden yang meminta hakim untuk memberikan keadilan dalam setiap putusan mereka. Harapan besar muncul bahwa pernyataan ini akan diikuti dengan langkah konkret bagi kesejahteraan hakim, khususnya hakim adhoc yang belum mengalami perubahan kesejahteraan sejak 2013.
PP Nomor 44 Tahun 2024, yang disahkan di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, hanya mengakomodasi hakim karier tanpa menyentuh kesejahteraan hakim adhoc. Perpres Nomor 5 Tahun 2013, yang menjadi dasar hak keuangan dan fasilitas hakim adhoc, belum mengalami perubahan. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang signifikan antara hakim karier dan hakim adhoc, meskipun keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama.
Hakim adhoc juga menerima fasilitas yang jauh dari memadai. Perpres Nomor 5 Tahun 2013 mengatur bahwa hakim adhoc berhak atas rumah negara, transportasi, dan biaya perjalanan dinas. Namun, dalam praktiknya, mereka hanya menerima bantuan biaya tempat tinggal yang hanya cukup untuk sewa kos, serta bantuan transportasi yang minim.
Secara hukum, perubahan Peraturan Presiden berada dalam wewenang Presiden. Proses ini semestinya lebih mudah dibandingkan perubahan Peraturan Pemerintah. Jika Presiden Joko Widodo dapat mengubah PP Nomor 94 Tahun 2012 menjadi PP Nomor 44 Tahun 2024 dalam waktu singkat setelah adanya gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, maka Presiden Prabowo seharusnya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk segera merevisi Perpres Nomor 5 Tahun 2013.
“Oleh karena itu, FSHA mendukung penuh agar Presiden Prabowo Subianto segera menggunakan kewenangannya untuk merevisi Perpres Nomor 5 Tahun 2013 dan meningkatkan kesejahteraan hakim, khususnya hakim adhoc. Ini adalah kesempatan bagi Presiden untuk membuktikan bahwa janji yang telah disampaikan benar-benar akan diwujudkan,” demikian pernyataan FSHA dalam rilis yang diterima Beritasatu.com, Kamis (20/2/2025).
Selain kesejahteraan hakim, FSHA juga mendorong agar Presiden turut memperhatikan kesejahteraan aparatur pengadilan lainnya, seperti sekretariat dan kepaniteraan. Dengan demikian, seluruh aparatur pengadilan dapat menjalankan tugasnya secara optimal tanpa terbebani persoalan kesejahteraan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara
