TRIBUNNEWS.COM – Hampir 45.000 penduduk Kherson Ukraina harus bertahan hidup di kota yang gelap gulita lantaran akses listrik di wilayah itu rusak akibat serangan rudal Rusia.
Dalam keterangan resminya, Menteri Luar Negeri Ukraina Andriy Sybiga mengatakan bahwa puluhan puluhan ribu orang di Ukraina selatan kini kehilangan akses listrik setelah serangan Rusia pada Selasa (1/4/2025).
Adapun serangan itu dilancarkan Rusia dengan menargetkan lokasi energi Ukraina setelah mereka menolak usulan gabungan AS-Ukraina untuk gencatan senjata tanpa syarat dan penuh.
“Pagi ini, serangan Rusia lainnya merusak fasilitas listrik di Kherson, menyebabkan 45.000 penduduk kehilangan listrik,” kata Sybiga dalam konferensi pers yang dikutip dari Ahram.
Serangan seperti ini bukan kali pertama yang dilakukan Rusia.
Sejak perang dimulai pada Februari 2022, Rusia telah berulang kali melancarkan serangan udara sistematis terhadap pembangkit listrik dan jaringan listrik Ukraina.
Pada tahun 2023, sekitar 63 persen fasilitas energi di Kyiv dilaporkan rusak akibat konflik tersebut.
Pada tahun 2024, jumlah fasilitas energi Ukraina yang rusak bertambah hingga 80 persen menyebabkan pemadaman listrik yang mempengaruhi lebih dari satu juta warga.
Namun pada awal pekan lalu Rusia secara mengejutkan menyetujui kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata dengan Ukraina, sesuai dengan usulan Presiden AS Donald Trump.
Dalam kesepakatan itu, Rusia diketahui bersedia menghentikan serangan terhadap fasilitas dan infrastruktur energi Ukraina selama 30 hari kedepan.
Rusia Abaikan Perintah Trump
Akan tetapi beberapa jam pasca moratorium itu dirilis, Rusia dan Ukraina kembali melancarkan serangan dengan pesawat nirawak (drone).
Mengutip dari Al Jazeera, perseteruan ini kembali memanas buntut keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin yang menolak tawaran Trump untuk gencatan senjata penuh selama 30 hari dalam perangnya di Ukraina.
Penolakan tersebut diungkap Putin lantaran adanya sejumlah masalah yang perlu diselesaikan sebelum perang dapat diakhiri.
Beberapa isu yang menjadi perhatian Moskow diantaranya terkait bagaimana gencatan senjata akan ditegakkan serta kemungkinan bahwa hal ini akan memberikan kesempatan bagi Ukraina untuk memperkuat pasukannya dengan bantuan militer Barat.
Putin juga bersikeras bahwa perundingan damai harus mempertimbangkan “keamanan hukum Rusia” dan penyebab awal dari konflik ini.
“Kami sangat serius dalam menanggapi model dan solusi yang diusulkan oleh Amerika, tetapi kami tidak dapat menerimanya dalam bentuk saat ini,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov
“Sejauh yang kami lihat, dalam proposal mereka tidak ada ruang untuk tuntutan utama kami, yaitu menyelesaikan permasalahan yang menjadi akar konflik ini. Itu sama sekali tidak ada, dan hal itu harus diatasi,” imbuhnya.
Perseteruan ini yang membuat konflik keduannya memanas hingga Rusia kembali melakukan aksi serang ke fasilitas energi Ukraina.
Trump Ancam Jegal Bisnis Minyak Rusia
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump tampaknya semakin tidak sabar dengan lambatnya perkembangan negosiasi.
Dalam beberapa hari terakhir, Trump mengungkapkan kekecewaannya terhadap Putin dengan mengatakan bahwa ia “sangat marah” atas sikap Rusia dalam pembicaraan damai.
Ia bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap negara-negara yang membeli minyak Rusia jika Moskow terus menghambat kesepakatan.
Sanksi yang dimaksud yakni pemberlakukan tarif impor 25 persen kepada negara-negara yang membeli minyak mentah Rusia.
Tak sampai disitu, Jika Rusia tidak menunjukkan itikad baik, Trump berencana menerapkan sanksi tambahan yang serupa dengan kebijakan terhadap Venezuela.
Dia menyatakan tindakan keras terhadap ekspor minyak Venezuela berhasil mengisolasi negara tersebut secara ekonomi.
“Jika Rusia dan saya tidak dapat membuat kesepakatan untuk menghentikan pertumpahan darah di Ukraina, dan jika saya pikir itu adalah kesalahan Rusia, saya akan mengenakan tarif sekunder pada minyak, pada semua minyak yang keluar dari Rusia,” kata Trump.
“Itu berarti, jika Anda membeli minyak dari Rusia, Anda tidak dapat berbisnis di Amerika Serikat. Akan ada tarif 25 persen untuk semua minyak, tarif 25-50 persen untuk semua minyak,” tambahnya.
(Tribunnews.com / Namira)