UI Waspadai Persaingan dengan Kampus Asing di Indonesia

UI Waspadai Persaingan dengan Kampus Asing di Indonesia

Jakarta, Beritasatu.com – Reputasi perguruan tinggi dalam pemeringkatan global seperti QS World University Ranking kini menjadi salah satu indikator penting dalam menarik minat publik. Seiring hal tersebut, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia mulai mewaspadai potensi persaingan dari kehadiran universitas asing yang membuka cabang di Tanah Air.

Kehadiran kampus luar negeri dinilai dapat menarik minat masyarakat kelas menengah ke atas—segmen yang selama ini menjadi pasar utama bagi kampus dalam negeri.

Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Harian (Plh) Direktur Humas Media, Pemerintah, dan Internasional Universitas Indonesia (UI), Emir Chairullah, dalam diskusi bersama Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Menurut Emir, masuknya universitas asing dapat menggeser preferensi masyarakat, terutama dari kalangan mampu, ke institusi luar negeri yang memiliki modal dan fasilitas yang lebih unggul.

“Pasarnya orang Indonesia yang punya kemampuan finansial akan berpindah ke kampus asing. Modal mereka kuat dan bisa menawarkan banyak hal,” jelasnya.

Emir juga menyinggung momentum diplomatik saat Utusan Khusus Perdana Menteri Inggris Bidang Pendidikan, Sir Steve Smith, dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Dominic Jermey, menemui Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, akhir Mei lalu. Dalam pertemuan itu, pemerintah Inggris menyampaikan ketertarikannya untuk mendirikan universitas asal Inggris di Indonesia.

Menanggapi tantangan tersebut, Emir menekankan perlunya inovasi dari PTN untuk tetap kompetitif. Salah satunya melalui kolaborasi internasional dalam bentuk program double degree, yang memungkinkan mahasiswa memperoleh dua gelar dari dua universitas berbeda.

“Yang paling mungkin dilakukan UI saat ini adalah kolaborasi, bikin double degree, supaya tidak semua devisa langsung ke kampus-kampus asing itu,” ujar Emir.

Ia juga mengingatkan, tanpa pengelolaan yang tepat, kehadiran kampus asing berpotensi menjadi pintu keluar devisa dalam jumlah besar.

“Kalau semua orang memilih kuliah di institusi asing, entah di luar negeri atau kampus asing yang buka di Indonesia, otomatis devisanya lari ke mereka,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Emir menyampaikan PTN tidak bisa terus-menerus bergantung pada uang kuliah tunggal (UKT) sebagai sumber utama pendanaan. Inovasi dalam sistem pembiayaan pendidikan tinggi sangat diperlukan agar operasional kampus tetap berjalan optimal.

“Kalau cuma mengandalkan UKT atau SPP itu, kampus sudah tidak bisa hidup. Makanya mungkin ada yang bilang ini komersialisasi, padahal sebenarnya tidak juga. Jalur reguler tetap ada, tidak diabaikan. Tapi kampus harus mampu berinovasi,” jelasnya.

Sebagai penutup, Emir menekankan bahwa peran negara tetap krusial, bahkan untuk universitas elite dunia seperti Harvard. Ia mencontohkan bagaimana Harvard pun menerima subsidi dari pemerintah Amerika Serikat, termasuk saat menghadapi pemotongan dana hibah pada era Presiden Donald Trump.

“Artinya, peran negara tetap penting, tidak bisa semuanya dibebankan ke kampus,” pungkas Emir.