Tuntutan Pemakzulan Gus Yahya Dinilai Kemenangan Politik Cak Imin

Tuntutan Pemakzulan Gus Yahya Dinilai Kemenangan Politik Cak Imin

JAKARTA – Pengamat politik Muhammad Huda menilai, tuntutan Rais Aam Syuriah PBNU Kiai Miftachul Akhaiyar agar Ketua Umum PBNU Kiai Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mundur dari jabatannya menjadi kemenangan politik bagi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin).

Menurutnya, meskipun Cak Imin secara terbuka tidak mencampuri urusan internal PBNU, keputusan Kiai Miftachul AKiaiyar meminta Gus Yahya mundur bukan sekadar persoalan etika organisasi, melainkan menjadi sinyal kuat kepada publik tensi konflik antara kubu Gus Yahya dan kubu Cak Imin mencapai puncaknya.

“Cak Imin tidak perlu turun tangan. Ketika Rais Aam meminta Gus Yahya mundur, publik otomatis membaca ada konflik yang tak bisa ditutup-tutupi antara Gus Yahya dan jaringan NU yang dekat dengan Cak Imin. Secara politik, ini poin kemenangan bagi Cak Imin,” terang Huda, Minggu 23 November.

Dia menyebut, ketegangan ini bukan muncul tiba-tiba. Sejak satu tahun teraKiaiir, sejumlah PWNU diberitakan mengalami pergantian pimpinan yang diduga kuat terkait afiliasi mereka dengan Cak Imin.

Gus Yahya disebut mengambil langkah konsolidasi untuk memperkuat kendali PBNU dari dinamika politik eksternal, terutama dari pengaruh PKB yang sejak lama memiliki akar kuat di basis nahdliyin.

“Ketika beberapa ketua PWNU yang dianggap dekat dengan Cak Imin dicopot atau digeser, itu dianggap sebagai bentuk resistensi terhadap ekspansi jaringan PKB. Langkah ini memperuncing ketegangan,” ungkapnya.

Situasi ini, lanjut Huda, memunculkan persepsi ada pertarungan kendali atas basis massa NU menjelang pemilu dan dinamika politik nasional.

Meskipun PBNU selalu menegaskan posisinya berada di luar politik praktis, friksi antara elite yang memiliki kedekatan dengan tokoh partai tak bisa dihindari.

Lebih lanjut, dia mengungkap ada tiga alasan mengapa dinamika ini menguntungkan Cak Imin. Pertama, menguatkan narasi Gus Yahya kehilangan dukungan ulama sepuh.

Sebab, jika Rais Aam sebagai posisi tertinggi dalam struktur syuriah turun tangan meminta mundur, artinya legitimasi moral Gus Yahya dinilai goyah mengingat dalam kultur Nahdliyin, dukungan kiai sepuh sangat menentukan.

Kedua, membuka ruang baru untuk jaringan PKB. Huda menyatakan, bila Gus Yahya mundur atau melemah, maka ruang gerak bagi kiai dan pengurus yang dekat dengan PKB berpotensi terbuka kembali, terutama di PWNU.

Ketiga, menguatkan persepsi publik tentang rivalitas yang dimenangkan PKB.

“Persepsi adalah segalanya dalam politik. Dan saat ini, persepsi kemenangan itu jatuh kepada Cak Imin,” sambungnya.

Dia menegaskan, konflik elite ini berpotensi membawa PBNU ke titik kritis, terutama dalam menjaga jarak dari politik praktis.

Para kiai di daerah disebut mulai resah karena polemik internal berimbas pada kegiatan struktural dan kegiatan keumatan di wilayah masing-masing.

Selain itu, masa depan kepemimpinan PBNU paska polemik ini akan menentukan arah hubungan organisasi dengan partai-partai politik dan stabilitas internal NU sendiri.

“Kalau PBNU tidak segera menemukan titik keseimbangan, polarisasi bisa melebar. Apalagi NU memiliki peran strategis dalam menjaga moderasi sosial dan stabilitas kebangsaan,” tutup Huda.